PEMUDA DAN MEDIA DIGITAL : REFLEKSI KONDISI KEPEMUDAAN DI ERA DIGITAL
PEMUDA DAN MEDIA
DIGITAL : REFLEKSI KONDISI KEPEMUDAAN DI ERA DIGITAL
Oleh:
Muhammad Ruslan
Afandi
(Universitas
Nasional)
Perubahan demi perubahan yang terjadi
di masyarakat global maupun Indonesia bisa dipastikan melibatkan kaum
muda sebagai pelaku utamanya, Widhyharto & Adiputra, (2014) dalam Azca,
Widhyharto, & Sutopo, (2014). Selanjutnya, Naaf dan White (2012) mendiskusikan kaum muda dapat dibagi kedalam
tiga perspektif, yakni kaum muda
sebagai generasi, kaum muda sebagai transisi, dan kaum muda sebagai pencipta
dan konsumen budaya. Pertama, kaum
muda dalam pendekatan generasi mengingatkan kita bahwa setiap generasi kaum muda memiliki sisi
historis dan konteksnya masing-masing. Kemudian
Parker dan Nilan (2013) dalam Azca, Widhyharto, & Sutopo (2014) menyatakan
konstruksi terhadap kaum muda tidaklah
sama dari waktu ke waktu, kondisi ini menjadikan
makna kaum muda tersebut mengalami perubahan.
Kedua, kaum muda sebagai transisi, dianggap sebagai pendekatan deterministik
yang meyakini bahwa kaum mudah mengalami tahapan kehidupan yang bersifat tetap dan universal (Sutopo,
2014). Pandangan ini selaras dengan konsep fungsionalisme yang menegaskan
berbagi peran untuk mewujudkan keseimbangan. Pandangan tersebut telah
menciptakan argumentasi bahwa transisi kaum muda yang menekankan pada asusmsi
biologis dan psikososial terhadap perkembangan kemudian berakibat pada
ketergantungan legitimasi dan intervensi kaum dewasa untuk memastikan bahwa
kaum muda melewati jalur yang sesuai dengan yang konstruksi dan definisi yang
telah dilampaui sebelumnya
oleh kaum dewasa. Misalnya, perjuangan aktivisme politik antara angkatan 45,
angkatan 66, dan angkatan 98 (Sutopo, 2014).
Ketiga, kaum muda sebagai pencipta dan konsumen budaya. Luvaas (2009)
menjelaskan mengenai terinternalisasinya kaum muda terhadap nilai globalisasi,
misalnya fenomena do it yourself culture dalam dunia
kaum muda, sehingga
memuculkan distro, musik indie, zinc, dll. Studi yang lain, Nilan (2006)
menjelaskan mengenai interseksi antara budaya lokal dan global, sehingga
memunculkan budaya hybrid diantara
kaum muda Muslim di Indonesia
(Luvass, 2009 & Nilan, 2006 dalam Widhyharto, 2014).
Hal ini juga sebagai bagian dari strategi kaum muda untuk menghadapi derasnya
arus globalisasi, sekaligus menunjukkan bahwa mereka mampu
menjadi agensi budaya yang memilah dan memilih secara kritis. Ketiga pandangan tersebut
menegaskan dinamika kaum muda dalam merespons
perubahan.
Kaum muda dianggap
mewakili kuantitas atau jumlah yang banyak, kemudian subjek otonom (mampu mengambil keputusan dan melakukannya sendiri maupun bersama), kemudian juga
mewakili nilai dan budaya (pencipta maupun peraga nilai-budaya itu sendiri). Merespons
definisi tersebut kemudian kaum muda mempunyai irisan dengan berbagai
isu perubahan, kaum muda
mengahadapi pertarungan nilai sosial, ekonomi,
budaya dan politik. (Pilan 2006, dalam,Nilan &Feixa, 2006).
Kemudian ketika kaum muda masuk dalam arena globalisasi,
kaum muda di hadapkan pada struktur eksternalitas
yang lebih masif, melintasi batas negara, dan sekat-sekat ekonomi,
politik, budaya menjadi semakin tipis (Giddens dalam Ritzer, 2003). Hal
tersebut kemudian menempatkan kaum muda dalam posisi yang ambiguitas, di satu
sisi mereka adalah produsen sekaligus konsumen utama, namun di sisi lain mereka
adalah kelas proletariat baru globalisasi sebagaimana dijelaskan oleh Bayat dan Herrera
(2011) dalam Azca, Widhyharto, Sutopo, (2014).
Media digital
dalam hal ini internet dipandang memiliki potensi sekaligus tanpa adopsi masyarakat telah
memberikan dampak yang signifikan terhadap dinamika kehidupan sosial mereka.
Dilihat dari besar jumlah penggunanya, Indonesia menempati
posisi negara dengan jumlah pengguna internet
terbesar kedelapan di antara negara-negara lainnya. Pada tahun 2012, jumlah
pengguna internet di Indonesia bahkan telah mencapai sekitar 55 juta pengguna
yang berasal dari berbagai rentang usia dan
jenis kelamin (Nugroho & Sofie, 2012).
Meningkatnya penetrasi internet di Indonesia tidak lepas
dari pengaruh popularitas social media di
kalangan para pengguna khususnya kaum muda. Popularitas social media di tengah masyarakat dapat dipahami mengingat media
ini bahkan dapat diakses
oleh siapa pun termasuk para pengguna
dengan kemampuan komputasi yang terbatas. Social
media juga memungkinkan terjadinya sinkronisasi, sehingga pesan yang
disampaikan dalam satu jenis media dapat secara langsung terhubung dengan media
lainnya dan dapat menyebar dengan cepat. Selain itu, adanya peningkatan
tingkat adopsi kaum muda terhadap perangkat telepon pintar (smartphone) dan komputer tablet yang didukung dengan ketersediaan
layanan mobile internet dengan tarif
yang terjangkau mendorong
internet menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pola media habit mereka.
Kondisi ini menegaskan bahwa kaum muda sangat dekat dengan
budaya media digital. Hasil penelitian The Center For
Internet and Society Bangalore India difasilitasi Hivos Belanda dengan
judul “Digital Native with Cause” mengidentifikasi pelaku digital natives adalah mereka yang lahir setelah tahun 1980
(dikategorikan sebagai kaum muda) dan akrab dengan media digital.
Penelitian tersebut menemukan bahwa digital natives tangan besar bagi kaum muda. Kehadiran media digital
dan meningkatnya tingkat (http://www.internetworldstats.com./top20.) merupakan e-agent of changes karena teknologi informasi dan internet banyak
digunakan oleh kaum muda yang partisipasi politiknya masih apatis. Penelitian
tersebut lebih menekankan kepada perilaku pengguna media digital yang cenderung
dilakukan kaum muda.
Mutualisme Kaum
Muda dan Media Digital
Di Indonesia, kaum muda identik dengan usia produktif dari
16 tahun sampai dengan 30 tahun menurut pasal 1,
angka 1 UU No.40/2009 tentang
Kepemudaan. Kaum muda Indonesia berjumlah lebih besar di
bandingkan negara-negara ASEAN lainnya yakni berjumlah 62.985.401 jiwa sekitar 27% dari jumlah
penduduk Indonesia (Widhyharto, 2014 dalam Sujito, Arie, 2014). Artinya,
besaran kaum muda menyimpan peluang dan tantangan, dalam tulisan ini kaum muda
dan media digital merupakan bentuk mutualitas
elemen masyarakat informasional.
Kondisi ini ditunjukkan oleh kemunculan kelas baru yakni para “globalpolitan”
yang kaya informasi (Castell, 2010).
Praktik kaum muda mengakses media digital sebagai aktivitas
yang paling banyak dilakukan dalam mengisi waktu luang berbanding lurus dengan
pola aktivitas kaum muda sebagai digital
natives dan peningkatan sumber daya akses yang tersedia (Widhyharto dkk,
2014). Sebagai bagian dari Gen C yang lahir, tumbuh, dan berkembang seiring dengan perkembangan media digital,
aktivitas yang dilakukan kaum muda
dalam keseharian tidak dapat dilepaskan dari teknologi informasi. Gen C sendiri sebenarnya bukanlah
segmentasi masyarakat berdasarkan kelompok usia seperti halnya konsep Gen X,
Gen Y, dan Babyboomers,
melainkan segmentasi yang didasarkan pada attitude
dan mindset yang berpusat pada
empat aspek yaitu creation, curation, connection, dan community
(Sugihartati, 2014).
Lalu bagaimana kaum muda menghadapi era keterbukaan digital tersebut,
Indonesia menyimpan kekuatan kaum muda yang besar. Data statistik kepemudaan kemenpora (2010), menyatakan bahwa jumlah kaum muda di
Indonesia (16-30 tahun) berkisar 57,81 juta jiwa atau sekitar 25,04% dari
keseluruhan populasi penduduk Indonesia. Dilihat dari segi jenis kelamin, jumlah
muda-mudi hampir sama. Lebih banyak kaum muda tinggal di daerah perkotaan
(26,68%) dibandingkan pedesaan
(23,50%). Sedangkan dilihat dari angka partisipasi pendidikan, kaum muda
di perkotaan tercatat lebih tinggi
dibandingkan pedesaan.
Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas kaum
muda bersekolah hingga
tingkat SMP (31,19%) disusul
dengan tingkat SMA (30,93%) dan perguruan tinggi sebanyak (28.96%). Sedangkan
jika dilihat jenis pekerjaan, sektor pertanian masih dominan (32,87%), disusul perdagangan(21,42%) kemudian industri (16,59%).
Kaum muda dan media digital saling mempengaruhi dalam produksi dan
konsumsi dari kultur
media dan kultur
kaum muda. Di era digital ini, kita mengakui media banyak memberikan
keuntungan dalam kehidupan manusia, diantaranya sebagai suatu alat untuk mengatasi berbagai permasalahan komunikasi sampai
dengan soal demokratisasi untuk akses yang luas dan tidak terbatas bagi manusia
di seluruh dunia (Priyono & Hamid, 2014). Hal ini memungkinkan individu
menciptakan hubungan tanpa batasan ruang dan waktu. Karenanya di waktu yang
sama keberadaan media dapat menciptakan pola baru komunikasi. Hal ini telah
menjadi ritual kaum muda modern, yang pastinya mengubah konfigurasi cara
berhubungan dan berkomunikasi secara global dalam seluruh budaya baru.
Perubahan cepat teknologi informasi telah merubah cara
berkomunikasi masyarakat, dari komunikasi oral menjadi komunikasi verbal diubah
ke komunikasi termediasi oleh media
digital. Meyrowitz (1997) dalam Widhyharto dan
Adiputra, (2014) menekankan bahwa perkembangan teknologi seperti komunikasi
tatap muka dalam video chating di replika tanpa
pembatasan ruang. Fungsi
teknologi komunikasi juga
dijiplak. Ini tidak hanya sekadar pertemuan sosial, tapi tumpang tindih dengan
kebutuhan emosional sosial, mulai dari simbolisme, hiburan, sampai eksistensi
personal. media digital juga memunculkan variasi ruang informasi dan kemungkinan kemunculan
konsensus nilai baru. Levy (1997, dalam Widhyharto dan Adiputra, 2014)
mengelaborasi “ruang pengetahuan” bahwa bentuk kelanjutannya melalui dinamika negosiasi yang tegas bersama media digital.
Membuka kemungkinan konsensus yang berdasarkan nilai, yang dapat dipisahkan
secara utuh dari moralitas dan nilai sosial, pembelokan bentuk dan penghancuran
identitas individu.
Praktik media
digital oleh
kaum muda di Indonesia sedang
bangkit. Permintaan tinggi atas teknologi komunikasi baru mengindikasikan praktik
media digital di
Indonesia. Pada akhir 2010 telepon pintar dimiliki sekitar 225 juta orang,
dengan penambahan pertumbuhan dua juta per bulan.
Dengan pertumbuhan telepon pintar seperti sekarang ini akan menyaingi jumlah
populasi masyarakat Indonesia pada petengahan 2011. 80% pengguna fasilitas
pelayanan seluler di Indonesia sendiri digunakan untuk mengakses internet melalui telepon seluler. Akselerasi praktis dari perangkat
personal telah menjadi fenomena yang luar biasa dalam penggunaan media. Contoh:
bagaimana 96% penduduk dunia menggunakan jejaring sosial, facebook sedikitnya menambah 200 juta pengguna tiap tahun, ipod 1 miliar dalam 9 bulan.(www.socialnomic.com.)
Data pasar yang dihimpun majalah e-marketer (2013) menunjukkan bahwa pertumbuhan
pengguna internet akan meliwat batas 100 juta pengguna di tahun 2015, pengguna internet tersebut
merupakan yang tercepat ketiga di dunia. Setelah mencapai dua juta tahun 2000
dan 61,1 juta di tahun 2012, tahun 2013 pengguna internet mencapai 76,4 juta
orang. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN yang lain, warga Indonesia menghabiskan waktu paling lama menggunakan internet,
yaitu 21,9 jam per minggu. Dari sisi penetrasi telepon selular, terdapat pula
peningkatan pengguna, dari 30 persen populasi di tahun 2008 menjadi
80 persen populasi
ditahun 2013 (Kompas, 17/03/2014).
Pada level lokal seperti hasil temuan survey on/off/line kaum muda, aktivisme politik
dan media digital, yang dilakukan YouSure (2013), memperlihatkan
penggunaan dan perilaku digital di dominasi oleh kaum muda di kota sekunder
seperti Yogyakarta. Terlihat sebagian besar responden memiliki aktivitas
sekolah atau kuliah dengan presentase tertinggi, yaitu sebesar 71,53%. Kemudian
dari sisi penggunaan internet, mayoritas responden me nempatkan browsing (67,87%), mailing/ mengakses e-mail (13,72%), online gaming (7,22%), download file (6,50%), dan blogging
(4,69%) sebagai aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh kaum muda kala
mengakses internet. Lalu sebanyak 40,52%
atau sekitar 109 responden menjawab aktivisme
politik yang mereka
lakukan di media online
berupa penyebaran informasi politik berupa
retweet, share link, share thread dan
sebagainya. Masih temuan survei on/off/
line, sebanyak 75,46 % atau 203 responden
memilih pernah merespons permasalahan publik melalui media online. Sedangkan hanya sekitar 23,79%
yang mengaku belum pernah merespons permasalahan publik di media online. Sebagai bagian dari Gen C, kecenderungan kaum muda untuk
berkreasi, terhubung, dan berkomunitas sangat
relevan dengan karakteristik responden dalam penelitian tersebut. Pada tataran
ini, ketiga konsep di atas bukan lagi dianggap sebagai tuntutan melainkan
kebutuhan. Bagi kaum muda, kebutuhan akan connection,
community, dan creation dapat mempengaruhi eksistensinya.
Kaum Muda dan Media Digital Pembawa Perubahan
Pertemuan kaum muda dan media digital merupakan babak
perubahan sosial, meluasnya istilah digitalisasi, informasional, media sosial,
teknologi informasi dan sebagainya. Menunjukkan penciptaan nilai, dan norma baru interaksi masa
depan. Dampaknya kaum muda dan media
digital telah
beradaptasi dengan karakter seperti fleksibilitas mobilitas, dan kebebasan
ruang dan waktu. Data terbaru
yang dikutip Kompas 10/03/2015 dari data safety among
adolescent in Indonesia 2014 yang diperoleh dari responden anak dan remaja
di perkotaan dan pedesaan di 11 provinsi
di Indonesia, menunjukkan bahwa kaum muda
menggunakan internet untuk pertemanan sebesar
79%, mencari informasi 80%, mencari hiburan
73%, dan membebaskan diri dari rutinitas sebesar 26%, dan mencari bahan tugas sekolah
18%. Adapun alat
yang digunakan kaum muda untuk mengakses internet terbesar masih
komputer PC sebesar 69%, telepon seluler 52%, laptop 34%, ponsel pintar 21%,
tablet 4%, dan game online 2%. Karakter tersebut cukup jelas untuk
mewakili kaum muda sebagai obyek sekaligus subyek media digital.
Penyataan di atas didukung oleh pendapat Tapscott (2009),
yang menyatakan terdapat delapan aspek yang menyamakan kaum muda
sebagai “net generation” yakni:
1)
Freedom, menegaskan konsep kebebasan
yang dilakukan kaum muda dalam media
digital, baik membuka identitas atau merahasikannya tanpa di pertanyakan oleh siapapun;
2)
Customization, kaum muda adalah konsumer yang aktif, yakni mencari dan memperoleh apa yang dikehendaki,
sekaligus apa yang diinginkannya dan tahu dimana mencarinya;
3)
Scrutiny, kaum muda bersikap kritis
untuk melakukan seleksi atas fiksi dan fakta informasi, sekaligus antara yang
nyata dan bersifat absurd;
4)
Integrity, kaum muda dalam media digital mempunyai komitmen terhadap kejujuran,
kesadaran, transparansi dan bertanggungjawab, sehingga menolak stereotipe buruk yang disandangkan kaum
muda dalam dimensi offline;
5)
Collaboration, menolak anggapan bahwa kaum muda dan media digital hidup soliter, sebaliknya mereka
berjejaring menggunakan berbagai media sosial, bahkan mereka menciptakan kolaborasi untuk kepentingan tertentu
yang bisa jadi tidak mungkin dilakukan dalam dimensi offline;
6)
Entertainment, kaum muda dan media baru memungkinkan untuk
men dapatkan kesenangan dan mencari kesenangan yang dibutuhkan seperti hiburan
dan informasi yang dibutuhkan;
7)
Speed, kaum muda dan media digital
menciptakan respons cepat dan budaya instan, mengingat kecepatan yang disajikan
media digital
yang didukung infrastruktur yang memadai menghasilkan quick respond dan real time
communication;
8)
Innovation, kaum muda dan media digital
sebagai pencetus ide dan temuan baru untuk saat ini dan masa datang, bahkan
mereka dalam kesehariannya sangat terlekat dan tertanam pada perkembangan
teknologi informasi (techno-literate).
Berdasarkan pemaparan tersebut
diatas, dapat disimpulkan bahwa kaum muda dan media digital
merupakan babak perubahan sosial, meluasnya istilah digitalisasi, media sosial,
teknologi informasi dan sebagainya. Hal ini menunjukkan penciptaan nilai, dan norma baru interaksi masa depan. Dampaknya kaum
muda dan media digital harus beradaptasi dengan
karakter seperti fleksibilitas mobilitas, dan kebebasan ruang dan waktu. Oleh karena itu untuk menyikapi
“media digital” sudah saatnya kita mengkaji dan menganalisis unsur kebudayaan dari luar,
problematika atau hambatan budaya yang membombardir kebudayaan Indonesia, peran serta kaum muda yang masih sadar dan
paham akan kebudayaan yang kaya sudah seharusnya melakukan berbagai usaha.
Salah satunya adalah menggunakan pendekatan yang dipahami dan diterima oleh
kaum muda saat ini, yaitu teknologi
modern dengan media digital.
DAFTAR PUSTAKA
Azca,
Najib. Widhyharto. Derajad.S, Sutopo Oki, R (ed), 2014, Buku Panduan Studi Kepemudaan, Teori
Metodologi, dan Isu-isu Kontemporer. PMPS- YouSure-Kemenpora RI,
Yogyakarta.
Azca, Najib. Margono A.S,
Wildan. L (ed), 2011, Pemuda Pasca ORBA.
Potret Kontemporer Pemuda Indonesia, YouSure-Kemepora RI, Yogyakarta.
Nilan, Pamela dan Carlos,
Feixa, 2006, Global Youth? Hybrid
Identities Plural Worlds, Routledge, London.
Nugroho, Yanuar & Syarief S. Sofie, 2012, Melampaui Aktivisme click? media
digital
dan Proses Politik dalam Indonesia Kontemporer,
Fesmedia Asia FES, Germany.
Parker, Lyn dan
Pamela Nilan, 2013,
Adolescent in Contemporary
Indonesia, Rout- ledege, London
Priyono, AE & Hamid.
U (ed), 2014,
Merancang Arah Baru Demokrasi,
Gramedia, Jakarta.
Sugihartati. R, 2014, Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Kon- temporer, Kencana,
Jakarta.
Tapscott, Don, 2009, Grown Up Digital How the Net Generation Is
Changing Your World, McGraw Hill, New York.