ANALISIS KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PUTUSAN ARBITRASE YANG OLEH PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG DINYATAKAN TIDAK DAPAT DILAKSANAKAN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 97 B/Pdt.Sus-Arbt/2016)


ANALISIS KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PUTUSAN ARBITRASE
YANG OLEH PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
DINYATAKAN TIDAK DAPAT DILAKSANAKAN
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 97 B/Pdt.Sus-Arbt/2016)

Muhammad Ruslan Afandi, S.H, M.H



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengaturan mengenai Badan Arbitrase Nasional Indonesia diatur dalam peraturan khusus yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, penjelasan mengenai arbitrase diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) yang mengatur bahwa: “arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Penjelasan mengenai perjanjian arbitrase juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yaitu pada Pasal 1 ayat (3) yang mengatur bahwa: “perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”.
Dari penjelasan pasal tersebut dapat dilihat bahwa perjanjian yang dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia adalah perjanjian tertulis yang memuat kesepakatan bahwa sengketa yang timbul akan diselesaikan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia, artinya perjanjian tersebut haruslah tertulis dan biasanya perjanjian tertulis tersebut untuk dapat menjadi suatu perjanjian yang autentik dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna maka dibuat dihadapan pejabat yang berwenang dalam membuat perjanjian yaitu seorang notaris.
Di dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diatur bahwa: “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”. Dan dalam penjelasan pasal tersebut lebih ditegaskan lagi bahwa putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. Sehingga dari pejelasan tersebut tidak dimungkinkan para pihak melakukan upaya lain setelah Badan Arbitrase Nasional Indonesia mengeluarkan putusannya.
Penegasan mengenai kewenangan penuh Badan Arbitrase Nasional Indonesia dalam menyelesaikan perkara arbitrase diatur di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa  yang mengatur bahwa: “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”.
Di dalam Undang-Undang ini terdapat suatu permasalahan hukum ketika hasil putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang merupakan putusan final dan mengikat tersebut apabila tidak dilaksanakan oleh para pihak secara sukarela maka salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan permohonan untuk eksekusinya kepada pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Permohonan eksekusi terhadap putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia tersebut tidak serta merta akan dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa  yang mengatur bahwa:
(1)   Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(2)   Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
(3)   Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.
(4)   Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.
Penjelasan lebih lanjut mengenai bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum tersebut tidak terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan terhadap tidak dapatnya dilaksanakan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia tentu akan menimbulkan pertanyaan bagaimana akhir penyelesaian terhadap sengketa arbitrase yang tadinya diharapkan dapat diselesaikan melalui badan penyelesaian sengketa diluar peradilan umum tersebut.
Permasalahan sebagaimana telah Penulis uraikan tersebut di atas dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 97 B/Pdt.Sus-Arbt/2016. Adapun amar dalam putusan ini yaitu menyatakan bahwa Putusan Badan Arbitrase Nasional Nomor 547/XI/ARBBANI/ 2013 tanggal 12 Desember 2014 tidak dapat dilaksanakan. Seperti apa yang diketahui bahwa pada prinsipnya putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, selain itu tujuan dibentuknya lembaga arbitrase yaitu pada prinsipnya untuk menyudahi sengketa yang terjadi antara para pihak sehingga para pihak dapat memperbaiki keadaan dan melanjutkan hubungan hukum secara damai. Namun dengan dinyatakan bahwa putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan tentu menjadi suatu persoalan hukum mengenai tindak lanjut dari penyelesaian sengketa antara para pihak, sementara di dalam undang-undang arbitrase sendiri tidak diatur mengenai akibat dinyatakan tidak dapat dilaksanakannya putusan arbitrase.

   B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat diketahui permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini, adalah:
1.  Bagaimana kepastian hukum klausul Arbitrase dalam penyelesaian suatu sengketa?
2.  Bagaimana kepastian hukum terhadap putusan Arbitrase yang oleh putusan Mahkamah Agung dinyatakan tidak dapat dilaksanakan?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pada penulisan ini adalah:
1.     Untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum klausul Arbitrase dalam penyelesaian suatu sengketa
2.     Untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum terhadap putusan Arbitrase yang oleh putusan Mahkamah Agung dinyatakan tidak dapat dilaksanakan


 
BAB II
PEMBAHASAN
A. Klausul Arbitrase sebagai Dasar Penyelesaian Sengketa
Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah ditentukan bahwa untuk dapat menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase maka para pihak terlebih dahulu harus menyepakati perjanjian penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase tersebut.
Dalam landasan teori sebagaimana telah Penulis jelaskan sebelumnya dalam penelitian ini digunakan teori kepastian hukum yang pada prinsipnya menjelaskan bahwa pada dasarnya aturan tersebut memberikan pemahaman kepada masyarakat terhadap perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dan bersifat melindungi masyarakat dari kekuasaan semata tanpa melindungi hak dari masyarakat, kepastian hukum tersebut juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang memuat larangan serta kewenangan terhadap perjanjian arbitrase.
Kesepakatan dalam menyelesaikan perkara melalui jalur arbitrase dimuat di dalam klausul perjanjian antara para pihak yang melakukan perjanjian. Dengan dimuatnya klausul penyelesaian perkara melalui jalur arbitrase dalam suatu perjanjian maka dengan demikian upaya hukum melalui lembaga peradilan terhadap sengketa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut tidaklah dibenarkan.
Bahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan tegas mengatur bahwa dengan disepakatinya penyelesaian perkara melalui jalur arbitrase maka kesepakatan tersebut meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri sebagaimana diatur di dalam Pasal 11

ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Bahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa juga dengan tegas mengatur bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase sebagai mana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Ketentuan sebagaimana ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut tentu merupakan suatu dasar hukum yang pasti mengenai kekuatan hukum klausul arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa yang diperjanjikan akan diselesaikan melalui jalur arbitrase. Sehingga apabila terdapat upaya hukum melalui Pengadilan Negeri terhadap sengketa yang diperjanjikan akan diselesaikan melalui arbitrase tentu merupakan suatu pelanggaran undang-undang dan pihak yang melakukan gugatan melalui Pengadilan Negeri tersebut tentu tidak memiliki itikat baik dalam menyelesaikan perkara.
Selaian itu dengan disepakatinya penyelesaian perkara melalui jalur arbitrase oleh para pihak maka dengan demikian pilihan hukum tersebut pada dasarnya merupakan pilihan hukum untuk menyelesaikan perkara melalui jalur damai dan dapat mengembalikan perselisihan seperti keadaan semula. Sehingga apabila dilakukan upaya hukum melalui Pengadilan Negeri tentu pihak yang mengajukan gugatan tersebut tidak menginginkan penyelesaian perkara secara damai.
Sebagaimana telah Penulis bahas sebelumnya yaitu dalam teori penyelesaian sengketa yang menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa merupakan upaya untuk mengembalikan hubungan para pihak yang bersengketa dalam keadaan seperti semula sehingga dengan menyelesaikan sengketa tersebut diharapkan para pihak dapat menjalin kembali hubungan sosial maupun hubungan hukum.
Selain itu dalam pembuatan suatu perjanjian dikenal suatu asas yang mendasari lahirnya perjanjian tersebut yaitu asas kebebasan berkontrak, sehingga segala macam bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat kedua belah pihak dalam kesepakatan tersebut. Menurut ketentuan pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi yang mebuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Sebagai konsekuensi logis dari diberlakukannya prinsip kebeasan berkontrak, maka para pihak dalam suatu perjanjian dapat juga menentukan sendiri hal-hal apa saja yang akan dimuat dalam perjanjian berdasarkan kesepakatan bersama diantaranya:
a.  Pilihan forum (choice of jurisdiction ), para pihak menentukan sendiri pengadilan atau forum mana yang berwenang memeriksa sengketa diantara para paihak dalam kontrak;
b.  Pilihan hukum (choice of law), para pihak menentukan sendiri hukum mana yang berlaku dalam interpretasi kontrak tersebut;
c.   Pilihan domisili (choice of domicile), para pihak menunujuk sendiri domisili hukum dari para pihak tersebut.[1]
Hal-hal sebagaimana dikemukakan di atas merupakan ketentuan yang dapat disepakati para pihak dalam perjanjian yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan dengan disepakatinya hal-hal tersebut para pihak harus beritikat baik dalam melaksanakan perjanjian termasuk salah satunya melaksanakan penyelesaian perkara melalui lembaga yang dipilih dan disepakati untuk ditempuh dalam menyelesaikan perkara.
Sebagai salah satu contoh bentuk kesepakatan penyelesaian perkara melalui jalur arbitrase yaitu klausul yang di buat dalam investmen agreement yang merupakan perjanjian investasi penanaman saham oleh Hary Tanoe Soedibjo kepada Perusahaan siaran swasta yang pada saat itu saham terbanyaknya dimiliki oleh Siti Ardianti Rukmana, di dalam perjanjian investasi penanaman saham ini disepakati bahwa apabila terhadap pelaksanaan perjanjian ditemui permasalahan antara para pihak, maka untuk menyelesaikannya akan ditempuh melalui jalur arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 13.2, Pasal 13.3 dan Pasal 13.4 Investmen Agreement yang mengatur:
Pasal 13.2 “Segala sengketa yang timbul diantara Para pihak yang berasaldari atau terkait dengan Perjanjian ini, termasuk tetapi tidak terbatas pada, pertanyaan apapun terkait dengan penafsiran, keabsahan pelaksanaan, keefektifan dan pemutusan hak atau kewajiban dari pihak manapun akan diselesaikan secara musyawarah”;
Pasal 13.3 “Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah oleh Para pihak, maka sengketa tersebut harus diselesaikan secara eksklusif dan bersifat final melalui arbitrase di Jakarta menurut Peraturan Badan Arbitrase Nasional Indonesia”;
Pasal 13.4 “Pasal 13 ini merupakan suatu Klausula Arbitrase yang tercakup dalam pengertian menurut Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (12 Agustus 1999) dan tidak dapat dicabut serta mengikat Para Pihak untuk menyerahkan sengketa kepada arbitrase bersifat final dan mengikat sesuai dengan hukum dan ketentuan-ketentuan di dalam Perjanjian ini”;
Dengan ditandatanganinya perjanjian yang memuat klausul tersebut di atas oleh kedua belah pihak maka pada saat itu juga perjanjian tersebut mengikat antara kedua belah pihak sehingga upaya lain atau tindakan lain selain yang diatur di dalam ketentuan peraturan tersebut merupakan suatu pelanggaran undang-undang. Perjanjian antara Hary Tanoe Soedibjo dengan Siti Ardianti Rukmana dalam Investmen Agreement tersebut merupakan perjanjian yang sah menurut hukum dan telah sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan oleh undang-undang sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sehingga dengan demikian setiap klausul yang terdapat di dalam perjanjian tersebut memiliki kepastian hukum dan kekuatan hukum yang dilindungi oleh undang-undang.
Walaupun terdapat peraturan mengenai kewenangan lembaga peradilan lain dalam menyelesaikan perkara, tetapi dengan didasarkan pada perjanjian ini maka kewenangan lembaga peradilan lain dalam mengambil alih penyelesaian perkara yang terikat dalam perjanjian ini seharusnya tidak dapat dilakukan. Sebagaimana diatur dalam  Investmen Agreement antara Hary Tanoe Soedibjo dengan Siti Ardianti Rukmana mengenai kesepakatan penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase maka berdasarkan asas lex specialis derogate lex generalis maka Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang seharusnya digunakan mengingat di dalam perjanjian Investmen Agreement tersebut lembaga yang dipilih untuk dapat menyelesaikan perkaranya adalah lembaga arbitrase.
Sehingga dengan berdasarkan perjanjian yang telah disepakati dan ditandatangani para pihak dalam hal ini Hary Tanoe Soedibjo dengan Siti Ardianti Rukmana dalam perjanjian Investmen Agreement maka Klausul Arbitrase sebagai Dasar Penyelesaian Sengketa merupakan suatu klausul yang memiliki kekuatan hukum dan harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak.

B. Kepastian Hukum Terhadap Putusan Arbitrase Yang Oleh Putusan Mahkamah Agung Dinyatakan  Tidak Dapat Dilaksanakan

Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa secara tegas diatur bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, namun prinsip final terhadap putusan arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bukanlah merupakan putusan yang bersifat terakhir dan menyudahi sengketa.
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa juga diatur mengenai upaya hukum lain yang dapat dilakukan tehadap hasil putusan arbitrase diantaranya melakukan penolakan terhadap pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase serta melakukan gugatan pembatalan terhadap putusan arbitrase tersebut.
Penolakan pelaksanaan putusan arbitrase diatur di dalam Pasal 61 dan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang pada pokoknya mengatur bahwa apabila para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan atas permohonan pelaksanaan eksekusi tersebut Ketua Pengadilan Negeri memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Apabila  putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Ketua serta bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum maka Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun. Terhadap putusan arbitrase tersebut Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.
Selain itu upaya hukum terhadap putusan arbitrase juga dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan.
Upaya hukum dengan melakukan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase dan melakukan gugatan pembatalan putusan arbitrase ini merupakan upaya hukum yang sering dilakukan salah satu pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan arbitrase, padahal diketahui bahwa pada dasarnya putusan arbitrase seharusnya merupakan putusan yang dibuat secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga diterima para pihak seperti yang telah diperjanjikan sejak awal.
Salah satu upaya hukum yang didasari pada penolakan pelaksanaan putusan arbitrase yaitu upaya hukum dalam perjanjian Investment Agreement antara Hary Tanoe Soedibjo melawan Siti Ardianti Rukmana. Perjanjian ini merupakan perjanjian penanaman modal yang dilakukan oleh Hary Tanoe Soedibjo ke PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia dengan ketentuan bahwa penanam modal akan mendapatkan 75% saham di PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia tersebut, dalam perjanjian ini juga diatur bahwa pemilik saham terbanyak dari PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia memiliki kuasa dari sisa saham yang ada.
Dalam perjanjian ini kemudian terjadi sengketa antara Hary Tanoe Soedibjo dengan pemilik sisa saham PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia dan Siti Ardianti Rukmana dikarenakan Hary Tanoe Soedibjo berencana membentuk struktur direksi dan komisaris dengan mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa pada tanggal 18 Maret 2005. Pada 10 Maret 2005, Direksi PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia yang pada waktu itu dikuasai oleh orang-orang yang ditempatkan dan dikendalikan oleh Hary Tanoe menerbitkan undangan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa yang akan diselenggarakan pada 18 Maret 2005. Undangan ditujukan kepada Pemilik Saham 25% dari PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia, tetapi dialamatkan dan dikirim kepada Hary Tanoe yang disebut dalam undangan tersebut sebagai kuasa para pemegang saham tersebut. Kuasa ini merupakan salah satu yang diperjanjikan dalam perjanjian Investment Agreement antara Hary Tanoe Soedibjo dengan Siti Ardianti Rukmana sebelumnya. Adapun hasil dari Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa ini yaitu dibentuklah direksi dan komisaris baru dan dicatatkan dalam Akta Nomor 16 dan 17, keduanya tertanggal 18 Maret 2005 dan dibuat di hadapan Bambang Wiweko, Notaris di Jakarta.
Karena melihat adanya iktikad tidak baik dari Hary Tanoe yang hendak menguasai PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia secara melawan hukum, pada 17 Maret 2005, para pemegang 25% saham PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia bersama Siti Ardianti Rukmana mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa dan memutuskan antara lain memberhentikan dengan hormat seluruh anggota Direksi dan Komisaris PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia yang dibentuk oleh Hary Tanoe dan mengangkat anggota Direksi dan Komisaris baru dengan strukturnya yaitu: Direktur Utama: Dandy Nugroho Hendro Mariyanto Rukmana, Direktur: Mohamad Jarman dan Komisaris: Danny Bimo Hendro Utomo dan dicatatkan dalam Akta Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005, yang dibuat di hadapan Buntario Tigris Darmawa, Notaris di Jakarta.
Permasalahan saling gugat ini timbul pada saat Siti Ardianti Rukmana melakukan gugatan terhadap Hary Tanoe Soedibjo ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Dalil dan alasan pengajuan gugatannya yaitu telah terjadi Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan Hary Tanoe Soedibjo sehingga merugikan Siti Hardiyanti Rukmana, karena Hary Tanoe menyelenggarakan dan menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 18 Maret 2005 secara tidak sah karena menggunakan Surat Kuasa tanggal 3 Juni 2003 yang sudah tidak berlaku lagi dan dilakukannya pemblokiran akses Sistim Administrasi Badan Hukum milik Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia oleh PT. Sarana Rekatama Dinamika atas kemauan Hary Tanoe sehingga Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 17 Maret 2005 yang diselenggarakan oleh Para Pemohon tidak dapat diterima pencatatannya/pendaftarannya oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta dibukanya blokir akses Sistim Administrasi Badan Hukum oleh PT. Sarana Rekatama Dinamika untuk kepentingan Hary Tanoe sehingga Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 18 Maret 2005 yang diselenggarakan Hary Tanoe dapat didaftarkan pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Permasalahannya perjanjian Investment Agreement antara para pihak tersebut mengatur juga mengenai bahwa terhadap sengketa yang kemungkinan terjadi dikemudian hari maka para pihak sepakat memilih jalur arbitrase untuk menyelesaikan perkaranya.
Namun klausul arbitrase dalam perjanjian Investment Agreement antara Siti Ardianti Rukmana dengan Hary Tanoe Soedibjo tersebut seakan bukan merupakan dasar penolakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena gugatan tersebut merupakan gugatan perbuatan melawan hukum sehingga tetap diterima dan diadili ileh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini tentu tidak sejalan dengan prinsip teori keadilan yang menjelaskan bahwa adalah adil jika suatu aturan diterapkan pada semua kasus di mana menurut isinya memang aturan tersebut harus diaplikasikan.
Terhadap gugatan yang diajukan Siti Ardianti Rukmana kemudian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan nomor: 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst pada tanggal  18 Agustus 2010 yang amar putusannya yaitu:
1.  Mengabulkan gugatan Siti Ardianti Rukmana;
2.  Menyatakan bahwa Hary Tanoe Soedibjo telah melakukan perbuatan melawan hukum;
3.  Menyatakan sah dan sesuai dengan hukum keputusan Rapat Umum Pemegang Saham tanggal 17 Maret 2005 tersebut tertuang dalam Akta No.114 tanggal 17 Maret 2005 yang dibuat di hadapan Buntario Tigris Darmawa Ng, Notaris di Jakarta;
4.  Membatalkan dan menyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum atas berikut segala perikatan yang timbul dan juga segala akibat hukum dari keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 18 Maret 2005 dan akta No. 16 tanggal 18 Maret 2005 dan Akta No. 17 Tanggal 18 Maret 2005, keduanya dibuat dihadapan Bambang Wiweko, Notaris di Jakarta;
5.  Menghukum Hary Tanoe Soedibjo untuk mengembalikan keadaan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia seperti keadaan semula seperti sebelum dilakukannya Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 18 Maret 2005 dan akta No. 16 tanggal 18 Maret 2005 dan Akta No. 17 Tanggal 18 Maret 2005, keduanya dibuat dihadapan Bambang Wiweko, Notaris di Jakarta
6.  Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi materiil sebesar Rp. 680.250.000.000,- (enam ratus delapan puluh milyar dua ratus lima puluh juta rupiah) secara tunai kepada Para Penggugat ditambah bunga 6% per tahun sejak gugatan ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai seluruhnya dibayar lunas;
7.  Menghukum Para Tergugat untuk tunduk dan patuh pada Putusan ini;
8.  Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara Rp.2,891.000,- (dua juta delapan ratus sembilan puluh satu ribu rupiah);
9.  Menolak gugatan selain dan selebihnya.
Selanjutnya terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut pihak Hary Tanoe Soedibjo melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat sehingga keluarlah putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat nomor: 629/PDT/2011/PT.DKI pada tanggal 20 April 2012 yang amar putusannya yaitu:
1.  Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor: 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst;
2.  Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili perkara ini.
Terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat tersebut kemudian Siti Ardianti Rukmana melakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung dan pada tingkat kasasi ini kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan putusan nomor: 862 K/Pdt/2013 pada tanggal 2 Oktober 2013 yang amar putusannya yaitu:
1.  Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Siti Ardianti Rukmana:
2.  Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 629/PDT/2011/PT. DKI tanggal 20 April 2012 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt Pst. tanggal 14 April 2011;
3.  Menyatakan bahwa Hary Tanoe Soedibjo telah melakukan perbuatan melawan hukum;
4.  Menyatakan sah dan sesuai dengan hukum Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham tanggal 17 Maret 2005 tersebut tertuang dalam Akta Nomor 114, tanggal 17 Maret 2005 yang dibuat di hadapan Buntario Tigris Darmawa Ng, Notaris di Jakarta;
5.  Membatalkan dan menyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum atas berikut segala perikatan yang timbul dan juga segala akibat hukum dari keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar biasa tanggal 18 Maret 2005 dan akta Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 dan Akta Nomor 17, Tanggal 18 Maret 2005, keduanya dibuat di hadapan Bambang Wiweko, Notaris di Jakarta;
6.  Menghukum Hary Tanoe Soedibjo untuk mengembalikan keadaan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia seperti keadaan semula seperti sebelum dilakukannya: Rapat Umum Pemegang Saham Luar biasa tanggal 18 Maret 2005 dan akta Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 dan Akta Nomor 17, Tanggal 18 Maret 2005, keduanya dibuat di hadapan Bambang Wiweko, Notaris di Jakarta;
7.  Menghukum Para Tergugat untuk tunduk dan patuh pada putusan ini;
8.  Menyatakan tuntutan ganti kerugian tidak dapat diterima;
9.  Menolak gugatan selain dan selebihnya;
10.               Menghukum Hary Tanoe Soedibjo untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);
                
Dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung tersebut kemudian Hary Tanoe Soedibjo melakukan upaya peninjauan kembali terhadap putusan tersebut selain itu Hary Tanoe Soedibjo juga melakukan upaya penyelesaian perkara melalui lembaga arbitrase dengan dasar bahwa perjanjian investment agreement antara Hary Tanoe Soedibjo dengan Siti Ardianti Rukmana tersebut merupakan perjanjian yang memuat klausul arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa.
Terhadap permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Hary Tanoe Soedibjo dikeluarkanlah putusan nomor: 238 PK/Pdt/2014 pada tanggal 29 Oktober 2014  yang amar putusannya menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Hary Tanoe Soedibjo dan menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah);.
Selanjutnya terhadap upaya hukum yang dilakukan oleh Hary Tanoe Soedibjo melalui jalur arbitrase dilakukan penyelesaian sengketa berdasarkan ketenteuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, atas permohonan arbitrase tersebut Badan Arbitrase Nasional Indonesia mengeluarkan putusan nomor: 547/XI/ARB-BANI/2013 pada tanggal 12 Desember 2014 yang amar putusannya yaitu:
1.  Mengabulkan permohonan Hary Tanoe Soedibjo untuk sebagian;
2.  Menyatakan sah dan mengikat Investment Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 dan Supplemental Agreement tertanggal 7 Februari 2003;
3.  Menyatakan sah dan mengikat Surat Kuasa tertanggal 3 Juni 2003 dan Surat Kuasa tertanggal 7 Februari 2003;
4.  Menyatakan Hary Tanoe Soedibjo adalah Pemohon yang beriktikad baik dan telah melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Investment Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 dan Supplemental Agreement tertanggal 7 Februari 2003;
5.  Menyatakan Hary Tanoe Soedibjo berhak atas 75% saham di PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia sampai dengan sebelum Pemohon mengalihkan saham tersebut kepada pihak ketiga yaitu PT. MNC, Tbk;
6.  Menyatakan Siti Ardianti Rukmana dan pemegang sisa saham PT.TPI telah melakukan cedera janji terhadap Hary Tanoe Soedibjo dengan mencabut Surat Kuasa tanggal 3 Juni 2003 yang bertentangan dengan Investment Agreement tertanggal 23 Agustus 2002;
7.  Menghukum Siti Ardianti Rukmana dan pemegang sisa saham PT.TPI untuk segera tanggung renteng, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama membayar kepada Pemohon atas tambahan pembiayaan disertai dengan costs, expenses dan fees (cost of fund) yang telah dilaksanakan oleh Pemohon sesuai dengan ketentuan Pasal 2.4 Investment Agreement dan Pasal 2.6 Supplemental Agreement yang sampai dengan tanggal 31 Desember 2013 berjumlah sebesar Rp510.043.408.297,00 (lima ratus sepuluh miliar empat puluh tiga juta empat ratus delapan ribu dua ratus sembilan puluh tujuh rupiah);
8.  Membebankan biaya administrasi kepada Hary Tanoe Soedibjo, Siti Ardianti Rukmana dan pemegang sisa saham PT.TPI secara seimbang yaitu masing-masing sebesar 50% (lima puluh persen) dari Total Biaya Arbitrase;
9.  Menghukum dan memerintahkan Siti Ardianti Rukmana dan pemegang sisa saham PT.TPI untuk membayar/mengembalikan kepada Hary Tanoe Soedibjo biaya administrasi, biaya sekretariat, dan biaya arbiter yang telah dibayar terlebih dahulu oleh Hary Tanoe Soedibjo yang seharusnya merupakan kewajiban Siti Ardianti Rukmana dan pemegang sisa saham PT.TPI sebesar Rp2.303.219.500,00 (dua miliar tiga ratus tiga juta dua ratus sembilan belas ribu lima ratus rupiah);
10.               Menolak Permohonan Arbitrase Hary Tanoe Soedibjo untuk selebihnya;
11.               Menghukum Para Pihak untuk melaksanakan putusan ini selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah Putusan Arbitrase ini diucapkan;
12.               Menyatakan Putusan Arbitrase ini adalah putusan dalam tingkat pertama dan terakhir serta mengikat kedua belah pihak;
13.               Memerintahkan kepada Panitera Sidang BANI untuk mendaftarkan turunan resmi Putusan Arbitrase ini ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas biaya Pemohon dan Para Termohon dalam tenggang waktu sebagaimana ditetapkan dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999;
Dengan dikeluarkannya putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia nomor: 547/XI/ARB-BANI/2013 tersebut pihak Siti Ardianti Rukmana melakukan upaya hukum dengan mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Atas upaya banding yang dilakukan kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan putusan nomor: 97 B/Pdt.Sus-Arbt/2016 pada tanggal 18 April 2016 yang amar putusannya yaitu:
1.  Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 24/PDT.ARB/2015/PN.JKT.PST., tanggal 29 April 2015 yang membatalkan Putusan Badan Arbitrase Nasional Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 tanggal 12 Desember 2014;
2.  Menyatakan Putusan Badan Arbitrase Nasional Nomor 547/XI/ARBBANI/ 2013 tanggal 12 Desember 2014 tidak dapat dilaksanakan;
3.  Menghukum Para Pemohon dan Para Termohon Pembatalan Putusan Arbitrase untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan, yang dalam tingkat terakhir ditetapkan sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);
Dengan dikeluarkannya putusan oleh Mahkamah Agung nomor: 97 B/Pdt.Sus-Arbt/2016 pada tanggal 18 April 2016 tersebut maka tidak terdapat lagi upaya hukum apapun terhadap sengketa Investment Agreement antara Hary Tanoe Soedibjo dengan Siti Ardianti Rukmana tersebut sebagaimana diatur dalam 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur bahwa Mahkamah Agung memutus perkara dalam tingkat pertama dan terakhir.
Dari penjelasan tersebut di atas maka dapat dipahami bahwa ketentuan yang mengatur bahwa putusan arbitrase merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap memberikan suatu permasalahan mengingat bahwa terhadap putusan arbitrase tersebut masih dapat dilakukan upaya hukum dalam pelaksanaan eksekusinya dan upaya hukum tersebut juga dapat dilakukan untuk membatalkan putusan arbitrase tersebut.
Seharusnya ketentuan yang mengatur mengenai masih dapat dilakukan upaya hukum terhadap putusan arbitrase yang pada dasarnya merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat harus dibuat dengan menjelaskan mengenai akibat dari upaya hukum terhadap putusan arbitrase tersebut. Mengingat bahwa dalam menjatuhkan suatu putusan, lembaga arbitrase pada prinsipnya telah melakukan proses beracara yang sebenarnya lebih baik dari proses beracara melalui lembaga peradilan umum karena proses beracara dalam lembaga arbitrase mengutamakan asas kesepakatan dan musyawarah.



  
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan sebagaimana telah diuraikan di dalam pembahasan tersebut di atas maka dalam hal ini Penulis menarik suatu kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
1.  Dengan disepakatinya suatu perjanjian yang di dalamnya memuat klausul penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase maka dapat dipastikan bahwa hanya lembaga arbitrase yang berwenang menyelesaikan perkara tersebut, dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase terdapat beberapa faktor yang menghambat penyelesaian sengketa tersebut diantaranya yaitu faktor undang-undang arbitrase itu sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat serta faktor kebudayaan. Selain itu terhadap perjanjian yang memuat klausul arbitrase dalam penyelesaian sengketanya maka apabila salah satu pihak melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri maka Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase tersebut.
2.  Putusan arbitrase merupakan putusan yang mandiri, final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Akan tetapi, terhadap putusan tersebut masih dapat dilakukan upaya hukum melalui permohonan pembatalan putusan apabila terhadap putusan arbitrase tersebut surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu, setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa dan terhadap pembatalan putusan ini maka Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase  serta Ketua Pengadilan Negeri juga dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase. Selain itu upaya hukum juga dapat dilakukan dengan melakukan penolakan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase dengan ketentuan putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum dan akibat hukum dari tidak dapat dilaksanakannya eksekusi putusan arbitrase ini maka tidak terdapat kejelasan lebih lanjut karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya mengatur mengenai penolakan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase dan tidak mengatur mengenai akibat dari penolakan pelaksanaan eksekusi tersebut.

B. Saran

Adapun saran yang dapat Penulis berikan dari hasil  dalam pembahasan yang telah Penulis lakukan yaitu:
1.  Dalam memeriksa suatu gugatan yang diajukan hendaknya Pengadilan Negeri memeriksa secara teliti terhadap gugatan tersebut khususnya mengenai sengketa dalam bidang perdagangan, karena apabila sengketa yang diajukan tersebut telah memuat suatu kesepakatan untuk menyelesaikan perkara melalui jalur arbitrase maka Pengadilan Negeri tidak memiliki kewenangan mengadili perkara tersebut serta Pengadilan Negeri wajib menolak serta tiduk diperbolehkan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase.
2.  Hendaknya dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pembaruan dapat dilakukan dengan mempertegas apakah putusan arbitrase tersebut benar merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat atau tidak karena apabila putusan arbitrase bersifat final dan mengikat maka seharusnya tidak terdapat upaya hukum lain terhadap putusan tersebut. Dan apabila sifat final dan mengikat dalam putusan arbitrase dihapuskan maka hendaknya diberikan rumusan yang jelas mengenai akibat dari ditolaknya pelaksanaan putusan arbitrase.


 

DAFTAR PUSTAKA

A.        Buku
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Hukum Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2009.
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi 1, Cetakan 12, Rajawali Pers, Jakarta, 2013.
Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

B.        Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

C.        Tesis dan Jurnal
Arief Hidayat, Menguji Sifat Final dan Mengikat dengan Hukum Progresif, Seminar Konsorsium Hukum Progresif Universitas Diponegoro, Semarang, 2013.
Gusti Ayu Rembulan Sari, Kewenangan Absolut Peradilan Di Indonesia Dalam Memeriksa Sengketa Yang Mengandung Klausul Arbitrase (Studi Kasus Pt Cipta Televisi Pendidikan Indonesia Dengan PT. Berkah Karya Bersama), Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 2015.
Thio Yonatan, Sengketa Kepemilikan Saham Berdasarkan Keabsahan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas (PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia), Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, Depok, 2011.


[1] Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007,          hal.137. 


Postingan Populer