ANALISIS KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PUTUSAN ARBITRASE YANG OLEH PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG DINYATAKAN TIDAK DAPAT DILAKSANAKAN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 97 B/Pdt.Sus-Arbt/2016)
ANALISIS KEPASTIAN HUKUM TERHADAP
PUTUSAN ARBITRASE
YANG
OLEH PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
DINYATAKAN
TIDAK DAPAT DILAKSANAKAN
(Studi
Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 97 B/Pdt.Sus-Arbt/2016)
Muhammad Ruslan Afandi, S.H, M.H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pengaturan mengenai Badan Arbitrase Nasional Indonesia
diatur dalam peraturan khusus yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Di dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
penjelasan mengenai arbitrase diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) yang mengatur
bahwa: “arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Penjelasan mengenai perjanjian arbitrase juga diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yaitu pada Pasal 1 ayat (3) yang mengatur bahwa:
“perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak
setelah timbul sengketa”.
Dari penjelasan pasal tersebut dapat dilihat bahwa
perjanjian yang dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia
adalah perjanjian tertulis yang memuat kesepakatan bahwa sengketa yang timbul
akan diselesaikan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia, artinya perjanjian
tersebut haruslah tertulis dan biasanya perjanjian tertulis tersebut untuk
dapat menjadi suatu perjanjian yang autentik dan memiliki kekuatan pembuktian
sempurna maka dibuat dihadapan pejabat yang berwenang dalam membuat perjanjian
yaitu seorang notaris.
Di dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diatur bahwa: “Putusan arbitrase bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”. Dan dalam penjelasan
pasal tersebut lebih ditegaskan lagi bahwa putusan arbitrase merupakan putusan
final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan
kembali. Sehingga dari pejelasan tersebut tidak dimungkinkan para pihak
melakukan upaya lain setelah Badan
Arbitrase Nasional Indonesia mengeluarkan putusannya.
Penegasan mengenai kewenangan penuh Badan Arbitrase Nasional Indonesia dalam
menyelesaikan perkara arbitrase diatur di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur bahwa: “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”.
Di dalam Undang-Undang ini terdapat suatu
permasalahan hukum ketika hasil putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang
merupakan putusan final dan mengikat tersebut apabila tidak dilaksanakan oleh
para pihak secara sukarela maka salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan
permohonan untuk eksekusinya kepada pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam
Pasal 61 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Permohonan eksekusi terhadap putusan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia tersebut tidak serta merta akan dikabulkan oleh
Ketua Pengadilan Negeri, hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 62
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur bahwa:
(1)
Perintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri.
(2)
Ketua
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan
perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase
memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum.
(3)
Dalam
hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan
terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum
apapun.
(4)
Ketua
Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
arbitrase.
Penjelasan lebih lanjut mengenai bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum tersebut tidak terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dan terhadap tidak dapatnya dilaksanakan
putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia tentu akan menimbulkan pertanyaan
bagaimana akhir penyelesaian terhadap sengketa arbitrase yang tadinya
diharapkan dapat diselesaikan melalui badan penyelesaian sengketa diluar
peradilan umum tersebut.
Permasalahan sebagaimana telah Penulis uraikan tersebut
di atas dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 97 B/Pdt.Sus-Arbt/2016.
Adapun amar dalam putusan ini yaitu menyatakan bahwa Putusan
Badan Arbitrase Nasional Nomor 547/XI/ARBBANI/ 2013 tanggal 12 Desember
2014 tidak dapat dilaksanakan. Seperti apa yang diketahui bahwa pada prinsipnya
putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, selain itu tujuan dibentuknya
lembaga arbitrase yaitu pada prinsipnya untuk menyudahi sengketa yang terjadi
antara para pihak sehingga para pihak dapat memperbaiki keadaan dan melanjutkan
hubungan hukum secara damai. Namun dengan dinyatakan bahwa putusan arbitrase
tidak dapat dilaksanakan tentu menjadi suatu persoalan hukum mengenai tindak
lanjut dari penyelesaian sengketa antara para pihak, sementara di dalam
undang-undang arbitrase sendiri tidak diatur mengenai akibat dinyatakan tidak
dapat dilaksanakannya putusan arbitrase.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
dikemukakan di atas, maka dapat diketahui permasalahan pokok yang akan dibahas
dalam penelitian ini, adalah:
1. Bagaimana
kepastian hukum klausul Arbitrase dalam penyelesaian suatu sengketa?
2. Bagaimana kepastian hukum terhadap putusan
Arbitrase yang oleh putusan Mahkamah Agung dinyatakan tidak dapat dilaksanakan?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pada penulisan
ini adalah:
1.
Untuk mengetahui bagaimana
kepastian hukum klausul Arbitrase dalam penyelesaian suatu sengketa
2.
Untuk
mengetahui bagaimana kepastian hukum terhadap putusan Arbitrase yang oleh
putusan Mahkamah Agung dinyatakan tidak dapat dilaksanakan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Klausul Arbitrase sebagai
Dasar Penyelesaian Sengketa
Di
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa telah ditentukan bahwa untuk dapat menyelesaikan sengketa
melalui jalur arbitrase maka para pihak terlebih dahulu harus menyepakati
perjanjian penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase tersebut.
Dalam
landasan teori sebagaimana telah Penulis jelaskan sebelumnya dalam penelitian
ini digunakan teori kepastian hukum yang pada prinsipnya menjelaskan bahwa pada
dasarnya aturan tersebut memberikan pemahaman kepada masyarakat terhadap
perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dan bersifat
melindungi masyarakat dari kekuasaan semata tanpa melindungi hak dari
masyarakat, kepastian hukum tersebut juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang memuat
larangan serta kewenangan terhadap perjanjian arbitrase.
Kesepakatan
dalam menyelesaikan perkara melalui jalur arbitrase dimuat di dalam klausul
perjanjian antara para pihak yang melakukan perjanjian. Dengan dimuatnya
klausul penyelesaian perkara melalui jalur arbitrase dalam suatu perjanjian
maka dengan demikian upaya hukum melalui lembaga peradilan terhadap sengketa
para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut tidaklah dibenarkan.
Bahkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa dengan tegas mengatur bahwa dengan disepakatinya penyelesaian perkara
melalui jalur arbitrase maka kesepakatan tersebut meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan
Negeri sebagaimana diatur di dalam Pasal 11
ayat (1) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Bahkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa juga dengan tegas mengatur bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur
tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui
arbitrase sebagai mana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Ketentuan
sebagaimana ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut tentu
merupakan suatu dasar hukum yang pasti mengenai kekuatan hukum klausul
arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa yang diperjanjikan akan
diselesaikan melalui jalur arbitrase. Sehingga apabila terdapat upaya hukum
melalui Pengadilan Negeri terhadap sengketa yang diperjanjikan akan
diselesaikan melalui arbitrase tentu merupakan suatu pelanggaran undang-undang
dan pihak yang melakukan gugatan melalui Pengadilan Negeri tersebut tentu tidak
memiliki itikat baik dalam menyelesaikan perkara.
Selaian
itu dengan disepakatinya penyelesaian perkara melalui jalur arbitrase oleh para
pihak maka dengan demikian pilihan hukum tersebut pada dasarnya merupakan
pilihan hukum untuk menyelesaikan perkara melalui jalur damai dan dapat
mengembalikan perselisihan seperti keadaan semula. Sehingga apabila dilakukan
upaya hukum melalui Pengadilan Negeri tentu pihak yang mengajukan gugatan
tersebut tidak menginginkan penyelesaian perkara secara damai.
Sebagaimana
telah Penulis bahas sebelumnya yaitu dalam teori penyelesaian sengketa yang
menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa merupakan upaya untuk mengembalikan
hubungan para pihak yang bersengketa dalam keadaan seperti semula sehingga
dengan menyelesaikan sengketa tersebut diharapkan para pihak dapat menjalin
kembali hubungan sosial maupun hubungan hukum.
Selain
itu dalam pembuatan suatu perjanjian dikenal suatu asas yang mendasari lahirnya
perjanjian tersebut yaitu asas kebebasan berkontrak, sehingga segala macam
bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat kedua belah pihak dalam
kesepakatan tersebut. Menurut
ketentuan pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian yang
dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi yang mebuatnya, tidak dapat
ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan
yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Sebagai
konsekuensi logis dari diberlakukannya prinsip kebeasan berkontrak, maka para
pihak dalam suatu perjanjian dapat juga menentukan sendiri hal-hal apa saja
yang akan dimuat dalam perjanjian berdasarkan kesepakatan bersama diantaranya:
a. Pilihan forum (choice of jurisdiction ), para
pihak menentukan sendiri pengadilan atau forum mana yang berwenang memeriksa
sengketa diantara para paihak dalam kontrak;
b. Pilihan hukum (choice of law), para
pihak menentukan sendiri hukum mana yang berlaku dalam interpretasi kontrak
tersebut;
c. Pilihan domisili (choice of domicile), para
pihak menunujuk sendiri domisili hukum dari para pihak tersebut.[1]
Hal-hal sebagaimana dikemukakan di atas
merupakan ketentuan yang dapat disepakati para pihak dalam perjanjian yang
dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan dengan disepakatinya hal-hal
tersebut para pihak harus beritikat baik dalam melaksanakan perjanjian termasuk
salah satunya melaksanakan penyelesaian perkara melalui lembaga yang dipilih
dan disepakati untuk ditempuh dalam menyelesaikan perkara.
Sebagai salah satu contoh
bentuk kesepakatan penyelesaian perkara melalui jalur arbitrase yaitu klausul
yang di buat dalam investmen agreement
yang merupakan perjanjian investasi penanaman saham oleh Hary Tanoe Soedibjo kepada
Perusahaan siaran swasta yang pada saat itu saham terbanyaknya dimiliki oleh Siti Ardianti Rukmana, di dalam perjanjian
investasi penanaman saham ini disepakati bahwa apabila terhadap pelaksanaan
perjanjian ditemui permasalahan antara para pihak, maka untuk menyelesaikannya
akan ditempuh melalui jalur arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 13.2, Pasal 13.3 dan Pasal 13.4 Investmen Agreement yang mengatur:
Pasal
13.2 “Segala sengketa yang timbul diantara Para pihak yang berasaldari atau
terkait dengan Perjanjian ini, termasuk tetapi tidak terbatas pada, pertanyaan
apapun terkait dengan penafsiran, keabsahan pelaksanaan, keefektifan dan
pemutusan hak atau kewajiban dari pihak manapun akan diselesaikan secara
musyawarah”;
Pasal
13.3 “Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah oleh
Para pihak, maka sengketa tersebut harus diselesaikan secara eksklusif dan
bersifat final melalui arbitrase di Jakarta menurut Peraturan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia”;
Pasal
13.4 “Pasal 13 ini merupakan suatu Klausula Arbitrase yang tercakup dalam
pengertian menurut Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (12 Agustus 1999) dan tidak dapat dicabut
serta mengikat Para Pihak untuk menyerahkan sengketa kepada arbitrase bersifat
final dan mengikat sesuai dengan hukum dan ketentuan-ketentuan di dalam
Perjanjian ini”;
Dengan ditandatanganinya perjanjian yang
memuat klausul tersebut di atas oleh kedua belah pihak maka pada saat itu juga
perjanjian tersebut mengikat antara kedua belah pihak sehingga upaya lain atau
tindakan lain selain yang diatur di dalam ketentuan peraturan tersebut
merupakan suatu pelanggaran undang-undang. Perjanjian antara Hary
Tanoe Soedibjo dengan Siti
Ardianti Rukmana dalam Investmen
Agreement tersebut merupakan perjanjian yang sah
menurut hukum dan telah sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan oleh
undang-undang sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, sehingga dengan demikian setiap klausul yang terdapat di dalam
perjanjian tersebut memiliki kepastian hukum dan kekuatan hukum yang dilindungi
oleh undang-undang.
Walaupun terdapat peraturan mengenai
kewenangan lembaga peradilan lain dalam menyelesaikan perkara, tetapi dengan
didasarkan pada perjanjian ini maka kewenangan lembaga peradilan lain dalam
mengambil alih penyelesaian perkara yang terikat dalam perjanjian ini
seharusnya tidak dapat dilakukan. Sebagaimana
diatur dalam Investmen Agreement antara Hary Tanoe Soedibjo dengan Siti Ardianti
Rukmana mengenai kesepakatan penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase maka
berdasarkan asas lex specialis derogate
lex generalis maka Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
seharusnya digunakan mengingat di dalam perjanjian Investmen Agreement tersebut lembaga
yang dipilih untuk dapat menyelesaikan perkaranya adalah lembaga arbitrase.
Sehingga dengan berdasarkan perjanjian yang
telah disepakati dan ditandatangani para pihak dalam hal ini Hary
Tanoe Soedibjo dengan Siti
Ardianti Rukmana dalam perjanjian Investmen
Agreement maka Klausul
Arbitrase sebagai Dasar Penyelesaian Sengketa merupakan suatu klausul yang
memiliki kekuatan hukum dan harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak.
B. Kepastian
Hukum Terhadap Putusan Arbitrase Yang Oleh Putusan Mahkamah Agung Dinyatakan Tidak Dapat Dilaksanakan
Di dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa secara tegas
diatur bahwa putusan arbitrase
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak,
namun prinsip final terhadap putusan arbitrase dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
bukanlah merupakan putusan yang bersifat terakhir dan menyudahi sengketa.
Sebagaimana
diketahui bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa juga diatur mengenai upaya hukum lain yang
dapat dilakukan tehadap hasil putusan arbitrase diantaranya melakukan penolakan
terhadap pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase serta melakukan gugatan
pembatalan terhadap putusan arbitrase tersebut.
Penolakan
pelaksanaan putusan arbitrase diatur di dalam Pasal 61 dan Pasal 62
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang pada pokoknya mengatur bahwa apabila para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri
atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan atas permohonan
pelaksanaan eksekusi tersebut Ketua Pengadilan Negeri memeriksa terlebih dahulu
apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan
dan ketertiban umum. Apabila putusan
arbitrase tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Ketua serta bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum maka Ketua Pengadilan Negeri menolak
permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri
tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun. Terhadap putusan arbitrase tersebut
Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
arbitrase.
Selain itu upaya hukum terhadap putusan arbitrase juga
dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase
sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
mengatur bahwa terhadap putusan
arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan.
Upaya hukum dengan melakukan penolakan pelaksanaan
putusan arbitrase dan melakukan gugatan pembatalan putusan arbitrase ini
merupakan upaya hukum yang sering dilakukan salah satu pihak yang merasa tidak
puas terhadap putusan arbitrase, padahal diketahui bahwa pada dasarnya putusan
arbitrase seharusnya merupakan putusan yang dibuat secara jujur, adil, dan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga diterima para pihak seperti yang
telah diperjanjikan sejak awal.
Salah satu upaya hukum yang didasari pada penolakan
pelaksanaan putusan arbitrase yaitu upaya hukum dalam perjanjian Investment
Agreement antara Hary Tanoe
Soedibjo melawan Siti Ardianti Rukmana. Perjanjian ini merupakan perjanjian
penanaman modal yang dilakukan oleh Hary Tanoe Soedibjo ke PT. Cipta Televisi
Pendidikan Indonesia dengan ketentuan bahwa penanam modal akan mendapatkan 75%
saham di PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia tersebut, dalam perjanjian ini
juga diatur bahwa pemilik saham terbanyak dari PT. Cipta Televisi Pendidikan
Indonesia memiliki kuasa dari sisa saham yang ada.
Dalam perjanjian ini kemudian terjadi sengketa antara
Hary Tanoe Soedibjo dengan pemilik sisa saham PT. Cipta Televisi Pendidikan
Indonesia dan Siti Ardianti Rukmana dikarenakan Hary Tanoe Soedibjo berencana
membentuk struktur direksi dan komisaris dengan mengadakan Rapat
Umum Pemegang Saham Luar Biasa pada tanggal 18 Maret 2005. Pada 10 Maret 2005,
Direksi PT. Cipta Televisi
Pendidikan Indonesia yang pada waktu itu dikuasai oleh
orang-orang yang ditempatkan dan dikendalikan oleh Hary Tanoe menerbitkan
undangan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa yang akan diselenggarakan pada 18
Maret 2005. Undangan ditujukan kepada Pemilik Saham 25% dari PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia,
tetapi dialamatkan dan dikirim kepada Hary Tanoe yang disebut dalam undangan
tersebut sebagai kuasa para pemegang saham tersebut. Kuasa ini merupakan salah
satu yang diperjanjikan dalam perjanjian
Investment Agreement antara Hary
Tanoe Soedibjo dengan Siti Ardianti Rukmana sebelumnya. Adapun hasil dari Rapat
Umum Pemegang Saham Luar Biasa ini yaitu dibentuklah direksi dan komisaris baru
dan dicatatkan dalam Akta Nomor
16 dan 17, keduanya tertanggal 18 Maret 2005 dan dibuat di hadapan
Bambang Wiweko, Notaris di Jakarta.
Karena
melihat adanya iktikad tidak baik dari Hary Tanoe yang hendak menguasai PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia
secara melawan hukum, pada 17 Maret 2005, para pemegang 25% saham PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia
bersama Siti Ardianti
Rukmana mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar
Biasa dan memutuskan antara lain memberhentikan dengan hormat seluruh anggota
Direksi dan Komisaris PT. Cipta
Televisi Pendidikan Indonesia yang dibentuk oleh Hary
Tanoe dan mengangkat anggota Direksi dan Komisaris baru dengan strukturnya
yaitu: Direktur Utama: Dandy Nugroho Hendro Mariyanto Rukmana, Direktur:
Mohamad Jarman dan Komisaris: Danny Bimo Hendro Utomo dan dicatatkan dalam Akta
Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005, yang dibuat di hadapan Buntario Tigris
Darmawa, Notaris di Jakarta.
Permasalahan saling gugat ini timbul pada saat Siti
Ardianti Rukmana melakukan gugatan terhadap Hary Tanoe Soedibjo ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dengan Dalil dan alasan pengajuan
gugatannya yaitu telah terjadi Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan Hary Tanoe Soedibjo sehingga merugikan
Siti Hardiyanti Rukmana, karena Hary Tanoe menyelenggarakan dan menghadiri
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 18 Maret 2005 secara tidak sah
karena menggunakan Surat Kuasa tanggal 3 Juni 2003 yang sudah tidak berlaku
lagi dan dilakukannya pemblokiran akses Sistim Administrasi Badan Hukum milik
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia oleh PT. Sarana Rekatama Dinamika atas
kemauan Hary Tanoe sehingga Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 17
Maret 2005 yang diselenggarakan oleh Para Pemohon tidak dapat diterima pencatatannya/pendaftarannya
oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta dibukanya blokir akses
Sistim Administrasi Badan Hukum oleh PT. Sarana Rekatama Dinamika untuk
kepentingan Hary Tanoe sehingga Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 18
Maret 2005 yang diselenggarakan Hary Tanoe dapat didaftarkan pada Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Permasalahannya
perjanjian Investment Agreement
antara
para pihak tersebut mengatur juga mengenai bahwa terhadap sengketa yang
kemungkinan terjadi dikemudian hari maka para pihak sepakat memilih jalur
arbitrase untuk menyelesaikan perkaranya.
Namun klausul arbitrase dalam
perjanjian Investment Agreement antara Siti Ardianti Rukmana dengan Hary Tanoe Soedibjo
tersebut seakan bukan merupakan dasar penolakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat karena gugatan tersebut merupakan gugatan perbuatan melawan hukum
sehingga tetap diterima dan diadili ileh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal
ini tentu tidak sejalan dengan prinsip teori keadilan yang menjelaskan bahwa adalah
adil jika suatu aturan diterapkan pada semua kasus di mana menurut isinya
memang aturan tersebut harus diaplikasikan.
Terhadap gugatan yang diajukan Siti Ardianti Rukmana
kemudian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan nomor: 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
pada tanggal 18 Agustus 2010 yang amar putusannya yaitu:
1. Mengabulkan
gugatan Siti Ardianti
Rukmana;
2. Menyatakan
bahwa Hary Tanoe Soedibjo telah
melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menyatakan
sah dan sesuai dengan hukum keputusan Rapat Umum Pemegang Saham tanggal 17
Maret 2005 tersebut tertuang dalam Akta No.114 tanggal 17 Maret 2005 yang
dibuat di hadapan Buntario Tigris Darmawa Ng, Notaris di Jakarta;
4. Membatalkan
dan menyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum atas berikut segala
perikatan yang timbul dan juga segala akibat hukum dari keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 18 Maret 2005 dan akta No. 16 tanggal 18
Maret 2005 dan Akta No. 17 Tanggal 18 Maret 2005, keduanya dibuat dihadapan
Bambang Wiweko, Notaris di Jakarta;
5. Menghukum
Hary Tanoe Soedibjo
untuk mengembalikan keadaan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia seperti
keadaan semula seperti sebelum dilakukannya Rapat Umum Pemegang Saham Luar
Biasa tanggal 18 Maret 2005 dan akta No. 16 tanggal 18 Maret 2005 dan Akta No.
17 Tanggal 18 Maret 2005, keduanya dibuat dihadapan Bambang Wiweko, Notaris di
Jakarta
6. Menghukum
Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi materiil
sebesar Rp. 680.250.000.000,- (enam ratus delapan puluh milyar dua ratus lima
puluh juta rupiah) secara tunai kepada Para Penggugat ditambah bunga 6% per
tahun sejak gugatan ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat sampai seluruhnya dibayar lunas;
7. Menghukum
Para Tergugat untuk tunduk dan patuh pada Putusan ini;
8. Menghukum
Para Tergugat untuk membayar biaya perkara Rp.2,891.000,- (dua juta delapan
ratus sembilan puluh satu ribu rupiah);
9. Menolak
gugatan selain dan selebihnya.
Selanjutnya terhadap putusan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut pihak Hary Tanoe Soedibjo melakukan
upaya banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat sehingga keluarlah putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat nomor: 629/PDT/2011/PT.DKI
pada tanggal 20 April 2012
yang
amar putusannya yaitu:
1. Membatalkan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor: 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst;
2. Menyatakan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili perkara ini.
Terhadap
putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Tinggi Jakarta Pusat tersebut kemudian Siti Ardianti Rukmana melakukan upaya
kasasi ke Mahkamah Agung dan pada tingkat kasasi ini kemudian Mahkamah Agung
mengeluarkan putusan nomor: 862 K/Pdt/2013 pada tanggal
2 Oktober 2013 yang amar
putusannya yaitu:
1. Mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Siti
Ardianti Rukmana:
2. Membatalkan
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 629/PDT/2011/PT. DKI tanggal 20 April
2012 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
10/Pdt.G/2010/PN.Jkt Pst. tanggal 14 April 2011;
3. Menyatakan
bahwa Hary Tanoe Soedibjo telah
melakukan perbuatan melawan hukum;
4. Menyatakan
sah dan sesuai dengan hukum Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham tanggal 17
Maret 2005 tersebut tertuang dalam Akta Nomor 114, tanggal 17 Maret 2005 yang
dibuat di hadapan Buntario Tigris Darmawa Ng, Notaris di Jakarta;
5. Membatalkan
dan menyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum atas berikut segala
perikatan yang timbul dan juga segala akibat hukum dari keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham Luar biasa tanggal 18 Maret 2005 dan akta Nomor 16 tanggal 18
Maret 2005 dan Akta Nomor 17, Tanggal 18 Maret 2005, keduanya dibuat di hadapan
Bambang Wiweko, Notaris di Jakarta;
6. Menghukum
Hary Tanoe Soedibjo
untuk mengembalikan keadaan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia seperti
keadaan semula seperti sebelum dilakukannya: Rapat Umum Pemegang Saham Luar
biasa tanggal 18 Maret 2005 dan akta Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 dan Akta
Nomor 17, Tanggal 18 Maret 2005, keduanya dibuat di hadapan Bambang Wiweko,
Notaris di Jakarta;
7. Menghukum
Para Tergugat untuk tunduk dan patuh pada putusan ini;
8. Menyatakan
tuntutan ganti kerugian tidak dapat diterima;
9. Menolak
gugatan selain dan selebihnya;
10.
Menghukum Hary Tanoe Soedibjo untuk
membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi
ini ditetapkan sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);
Dengan
dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung tersebut kemudian Hary Tanoe Soedibjo
melakukan upaya peninjauan kembali terhadap putusan tersebut selain itu Hary
Tanoe Soedibjo juga melakukan upaya penyelesaian perkara melalui lembaga
arbitrase dengan dasar bahwa perjanjian investment agreement antara Hary Tanoe Soedibjo dengan Siti Ardianti
Rukmana tersebut merupakan perjanjian yang memuat klausul arbitrase sebagai
alternatif penyelesaian sengketa.
Terhadap permohonan
Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Hary Tanoe Soedibjo dikeluarkanlah
putusan nomor: 238 PK/Pdt/2014 pada tanggal
29 Oktober 2014 yang amar putusannya menolak permohonan
Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Hary
Tanoe Soedibjo dan menghukum Pemohon Peninjauan Kembali
untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar
Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah);.
Selanjutnya terhadap upaya hukum yang dilakukan oleh Hary Tanoe Soedibjo melalui jalur arbitrase
dilakukan penyelesaian sengketa berdasarkan ketenteuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, atas permohonan arbitrase tersebut Badan Arbitrase
Nasional Indonesia mengeluarkan putusan nomor: 547/XI/ARB-BANI/2013
pada tanggal 12 Desember 2014 yang amar putusannya yaitu:
1. Mengabulkan
permohonan Hary Tanoe Soedibjo
untuk sebagian;
2. Menyatakan
sah dan mengikat Investment Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 dan Supplemental
Agreement tertanggal 7 Februari 2003;
3. Menyatakan
sah dan mengikat Surat Kuasa tertanggal 3 Juni 2003 dan Surat Kuasa tertanggal
7 Februari 2003;
4. Menyatakan
Hary Tanoe Soedibjo
adalah Pemohon yang beriktikad baik dan telah melaksanakan ketentuan-ketentuan
dalam Investment Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 dan Supplemental
Agreement tertanggal 7 Februari 2003;
5. Menyatakan
Hary Tanoe Soedibjo
berhak atas 75% saham di PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia sampai dengan
sebelum Pemohon mengalihkan saham tersebut kepada pihak ketiga yaitu PT. MNC,
Tbk;
6. Menyatakan
Siti Ardianti Rukmana
dan pemegang sisa saham PT.TPI telah melakukan cedera janji terhadap Hary Tanoe Soedibjo
dengan mencabut Surat Kuasa tanggal 3 Juni 2003 yang bertentangan dengan Investment
Agreement tertanggal 23 Agustus 2002;
7. Menghukum
Siti Ardianti Rukmana
dan pemegang sisa saham PT.TPI untuk segera tanggung renteng, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama membayar kepada Pemohon atas tambahan
pembiayaan disertai dengan costs, expenses dan fees (cost
of fund) yang telah dilaksanakan oleh Pemohon sesuai dengan ketentuan Pasal
2.4 Investment Agreement dan Pasal 2.6 Supplemental Agreement yang
sampai dengan tanggal 31 Desember 2013 berjumlah sebesar Rp510.043.408.297,00
(lima ratus sepuluh miliar empat puluh tiga juta empat ratus delapan ribu dua
ratus sembilan puluh tujuh rupiah);
8. Membebankan
biaya administrasi kepada Hary
Tanoe Soedibjo, Siti
Ardianti Rukmana dan pemegang sisa saham PT.TPI secara
seimbang yaitu masing-masing sebesar 50% (lima puluh persen) dari Total Biaya
Arbitrase;
9. Menghukum
dan memerintahkan Siti Ardianti
Rukmana dan pemegang sisa saham PT.TPI untuk
membayar/mengembalikan kepada Hary
Tanoe Soedibjo biaya administrasi, biaya sekretariat, dan
biaya arbiter yang telah dibayar terlebih dahulu oleh Hary Tanoe Soedibjo
yang seharusnya merupakan kewajiban Siti
Ardianti Rukmana dan pemegang sisa saham PT.TPI sebesar
Rp2.303.219.500,00 (dua miliar tiga ratus tiga juta dua ratus sembilan belas
ribu lima ratus rupiah);
10.
Menolak Permohonan
Arbitrase Hary Tanoe Soedibjo
untuk selebihnya;
11.
Menghukum Para Pihak untuk
melaksanakan putusan ini selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
Putusan Arbitrase ini diucapkan;
12.
Menyatakan Putusan
Arbitrase ini adalah putusan dalam tingkat pertama dan terakhir serta mengikat
kedua belah pihak;
13.
Memerintahkan kepada
Panitera Sidang BANI untuk mendaftarkan turunan resmi Putusan Arbitrase ini ke
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas biaya Pemohon dan Para
Termohon dalam tenggang waktu sebagaimana ditetapkan dan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999;
Dengan dikeluarkannya putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia nomor: 547/XI/ARB-BANI/2013
tersebut pihak Siti Ardianti
Rukmana melakukan upaya hukum dengan mengajukan permohonan pembatalan putusan
arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Atas upaya banding
yang dilakukan kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan putusan nomor: 97 B/Pdt.Sus-Arbt/2016 pada tanggal
18 April 2016 yang amar putusannya
yaitu:
1. Membatalkan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 24/PDT.ARB/2015/PN.JKT.PST., tanggal 29 April 2015 yang
membatalkan Putusan Badan
Arbitrase Nasional Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 tanggal 12 Desember 2014;
2. Menyatakan
Putusan Badan Arbitrase Nasional Nomor 547/XI/ARBBANI/ 2013 tanggal 12 Desember 2014 tidak dapat dilaksanakan;
3. Menghukum
Para Pemohon dan Para Termohon
Pembatalan Putusan Arbitrase untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan, yang dalam
tingkat terakhir ditetapkan sebesar Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah);
Dengan dikeluarkannya putusan oleh Mahkamah Agung
nomor: 97 B/Pdt.Sus-Arbt/2016 pada tanggal 18 April 2016 tersebut maka tidak terdapat
lagi upaya hukum apapun terhadap sengketa Investment Agreement antara Hary Tanoe Soedibjo dengan Siti Ardianti Rukmana
tersebut sebagaimana diatur dalam 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur bahwa Mahkamah Agung memutus
perkara dalam tingkat pertama dan terakhir.
Dari penjelasan tersebut di atas maka dapat
dipahami bahwa ketentuan yang mengatur bahwa putusan arbitrase merupakan
putusan yang berkekuatan hukum tetap memberikan suatu permasalahan mengingat
bahwa terhadap putusan arbitrase tersebut masih dapat dilakukan upaya hukum
dalam pelaksanaan eksekusinya dan upaya hukum tersebut juga dapat dilakukan
untuk membatalkan putusan arbitrase tersebut.
Seharusnya
ketentuan yang mengatur mengenai masih dapat dilakukan upaya hukum terhadap
putusan arbitrase yang pada dasarnya merupakan putusan yang bersifat final dan
mengikat harus dibuat dengan menjelaskan mengenai akibat dari upaya hukum
terhadap putusan arbitrase tersebut. Mengingat bahwa dalam menjatuhkan suatu
putusan, lembaga arbitrase pada prinsipnya telah melakukan proses beracara yang
sebenarnya lebih baik dari proses beracara melalui lembaga peradilan umum
karena proses beracara dalam lembaga arbitrase mengutamakan asas kesepakatan
dan musyawarah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan sebagaimana telah
diuraikan di dalam pembahasan tersebut di atas maka dalam hal ini Penulis menarik
suatu kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
1. Dengan disepakatinya suatu perjanjian yang
di dalamnya memuat klausul penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase maka
dapat dipastikan bahwa hanya lembaga arbitrase yang berwenang menyelesaikan
perkara tersebut, dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui jalur
arbitrase terdapat beberapa faktor yang menghambat penyelesaian sengketa
tersebut diantaranya yaitu faktor undang-undang arbitrase itu sendiri, faktor
penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat serta faktor
kebudayaan. Selain itu terhadap perjanjian yang memuat klausul arbitrase dalam
penyelesaian sengketanya maka apabila salah satu pihak melakukan upaya hukum
dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri maka Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur
tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui
arbitrase tersebut.
2. Putusan
arbitrase merupakan putusan yang mandiri, final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak. Akan tetapi, terhadap putusan tersebut masih dapat dilakukan upaya hukum
melalui permohonan pembatalan putusan apabila terhadap putusan arbitrase
tersebut surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu, setelah putusan diambil
ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan
atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa dan terhadap pembatalan putusan ini maka Ketua
Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau
sebagian putusan arbitrase serta Ketua
Pengadilan Negeri juga dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan,
arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa
bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan
lagi melalui arbitrase. Selain itu upaya hukum juga dapat dilakukan dengan
melakukan penolakan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase dengan ketentuan putusan
arbitrase tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum dan akibat hukum dari tidak
dapat dilaksanakannya eksekusi putusan arbitrase ini maka tidak terdapat
kejelasan lebih lanjut karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya mengatur mengenai
penolakan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase dan tidak mengatur mengenai
akibat dari penolakan pelaksanaan eksekusi tersebut.
B. Saran
Adapun saran yang dapat Penulis berikan
dari hasil dalam pembahasan yang telah
Penulis lakukan yaitu:
1. Dalam memeriksa suatu gugatan yang diajukan
hendaknya Pengadilan Negeri memeriksa secara teliti terhadap gugatan tersebut
khususnya mengenai sengketa dalam bidang perdagangan, karena apabila sengketa
yang diajukan tersebut telah memuat suatu kesepakatan untuk menyelesaikan
perkara melalui jalur arbitrase maka Pengadilan Negeri tidak memiliki
kewenangan mengadili perkara tersebut serta Pengadilan Negeri wajib menolak serta tiduk diperbolehkan campur tangan di
dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase.
2. Hendaknya
dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pembaruan dapat dilakukan
dengan mempertegas apakah putusan arbitrase tersebut benar merupakan putusan
yang bersifat final dan mengikat atau tidak karena apabila putusan arbitrase bersifat
final dan mengikat maka seharusnya tidak terdapat upaya hukum lain terhadap
putusan tersebut. Dan apabila sifat final dan mengikat dalam putusan arbitrase
dihapuskan maka hendaknya diberikan rumusan yang jelas mengenai akibat dari
ditolaknya pelaksanaan putusan arbitrase.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Bahder Johan
Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 2008
Mukti Fajar ND dan
Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian
Hukum Normatif dan Hukum Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Munir Fuady, Hukum
Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007.
Peter Mahmud
Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana,
Jakarta, 2009.
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Edisi 1, Cetakan 12, Rajawali Pers, Jakarta, 2013.
Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika,
Jakarta, 2005.
B.
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.
Undang-Undang Nomor
4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
C.
Tesis dan
Jurnal
Arief Hidayat, Menguji Sifat Final dan Mengikat dengan
Hukum Progresif, Seminar Konsorsium Hukum Progresif Universitas Diponegoro,
Semarang, 2013.
Gusti Ayu Rembulan
Sari, Kewenangan Absolut Peradilan Di Indonesia Dalam Memeriksa Sengketa Yang
Mengandung Klausul Arbitrase (Studi Kasus Pt Cipta Televisi Pendidikan
Indonesia Dengan PT. Berkah Karya Bersama), Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 2015.
Thio Yonatan, Sengketa
Kepemilikan Saham Berdasarkan Keabsahan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan
Terbatas (PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia), Magister Kenotariatan, Universitas
Indonesia, Depok, 2011.
[1] Munir Fuady, Hukum
Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007, hal.137.