ASEAN Literary Festival 2017_Komunitas Bissu : Keberagaman Gender yang Kian Membisu!
ASEAN Literary Festival 2017
Komunitas Bissu : Keberagaman Gender yang Kian Membisu!
Oleh:
Muhammad
Ruslan Afandi, S.H
Sulawesi Selatan merupakan salah satu Provinsi di
Indonesia yang memiliki kekhasan budaya. Secara garis besar penduduk Sulawesi
Selatan terdiri dari 4 (empat) kelompok etnik, yaitu Bugis, Makasar, Toraja dan
Mandar. Dalam kehidupan masyarakatnya masih banyak terikat pada sistem norma
dan aturan-aturan adat, yang dikeramatkan atau disakralkan, yang seluruhnya
disebut dengan istilah pangadareng (Bugis)/pangadakkang
(Makassar).
Adat bagi orang Bugis Makassar tidaklah
berarti hanya sekedar kebiasaan-kebiasaan (gewooten), melainkan juga
merupakan konsep kunci dalam memahami masyarakat Bugis Makassar. Adat adalah
pribadi dari kebudayaan mereka. Dan lebih dari itu Adat adalah pandangan hidup
bagi masyarakat Bugis Makassar. Sebagai pandangan hidup dan pribadi kebudayaan
adat bagi orang Bugis Makassar dianggap sama dengan syarat-syarat kehidupan
manusia.
Komunitas Bissu di Provinsi
Sulawesi Selatan menjadi salah satu bukti kebudayaan adat bagi orang Bugis
Makassar. Dimana, komunitas Bissu ini
tersebar di beberapa kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan antara lain, Kabupaten
Pangkep, Bone, Soppeng, dan Wajo. Pada mulanya Bissu berasal dari
Kabupaten Luwu, namun kini sudah tidak ada lagi. Beberapa daerah lainnya pun sudah mulai punah dan saat ini
komunitas Bissu yang masih eksis
hingga sekarang berada di Kabupaten Pangkajene dan Kepuluan (Pangkep).
Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan (Pangkep) sendiri merupakan adalah salah satu kabupaten di Provinsi
Sulawesi Selatan yang berjarak 70 km dari Makassar. Di wilayah Kabupaten
Pangkep, tepatnya di Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, hidup sekelompok
komunitas. Komunitas “Bissu”, begitu
panggilan akrab yang ditujukan kepada beberapa pria feminisme yang tidak mempan
senjata tajam saat menunjukkan atraksi seni tarian Maggiri. Dalam kehidupan sosial, pria feminisme disebut waria,
wandu atau banci yang dalam bahasa bugis waria disebut calabai, berasal dari kata “salabai” atau “sala baine”, yang
artinya bukan perempuan.
Secara
harfiah istilah Bissu diyakini
berasal dari kata “bessi’ atau “mabessi” yang artinya bersih, suci, tidak kotor
karena mereka tidak berpayudara dan tidak mengalami menstruasi. Bissu berkedudukan sebagai penyambung
lidah raja dan rakyat, juga merupakan perantara antara langit dan bumi karena
mereka menguasai bahasa “torilangi’
(orang langit) yang hanya dimengerti sesama bissu dan para dewata (raja). (Makkulau, M Farid:2007)
Pengetahuan-pengetahuan
warisan Bugis kuno di Kabupaten Pangkep masih dipertahankan dan diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari dan atau upacara orang Bugis, baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat. Komunitas Bissu di Kabupaten Pangkep dianggap sebagai pelestari tradisi, adat
budaya, serta kepercayaan lama yang dianut oleh masyarakat bugis kuno jauh
sebelum pengaruh agama Islam masuk. Di dalam naskah La Galigo disebutkan
bahwa Bissu telah ada sebelum masuknya Islam. Di naskah tersebut
dikatakan bahwa Bissu yang pertama kali diturunkan dari langit. Bahasa Bissu
adalah lambang dari bahasa langit, sehingga disebut juga bahasa Torilangi,
yang berarti bahasa orang dari langit. Norma-norma, konsep-konsep kehidupan,
bahkan silsilah dewa-dewa dan kosmologi orang Bugis dalam kitab La Galigo,
mereka peroleh secara lisan atau tertulis dari guru-guru pendahulu mereka yang
telah wafat.
Bissu bukan Calabai (Waria) Biasa!
Tradisi transvestities
di tanah Bugis, yaitu lelaki yang berperan sebagai perempuan, sudah
diungkap dalam naskah-naskah klasik Bugis sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka
dikenal sebagai pendeta agama Bugis kuno pra Islam dengan julukan Bissu.
Keberadaan mereka sebagai benang merah kesinambungan tradisi lisan Bugis
kuno. Secara fisik Bissu adalah laki-laki, tetapi lemah lembut dalam
bertutur dan memiliki kemampuan-kemampuan lebih, seperti meramal, mengobati,
dan kebal terhadap senjata tajam. Sementara sebagian orang mengatakan bahwa Bissu
sama dengan waria/banci. Di dalam bahasa Bugis disebut calabai atau kawe-kawe
yang berarti waria (wanita-pria, wadam). (Latief, Halilintar :1981).
Bissu bukanlah calabai(waria) biasa hal
ini karena Bissu dianggap orang
”suci” karena berkaitan dengan tugas yang diembannya sebagai penjaga dan
pemelihara Arajang, yaitu benda-benda pusaka yang diwariskan para raja
yang memerintah dalam suatu negeri atau kerajaan di Bugis dahulu. Seorang Bissu
bukan calabai (waria) biasa, karena ada tirakat serta peraturan yang
harus dijalani sebelum menjadi Bissu. Selain itu Bissu juga
diharuskan berpakaian sopan dan anggun, tidak berpenampilan yang mengundang
birahi orang seperti para banci/waria pada umumnya. Tugas Bissu pada
intinya adalah sebagai pemimpin spiritual bagi masyarakat maupun kerajaan pada
masa lalu. Di dalam konteks kekinian mereka menerima konsultasi tentang
hajatan, pertolongan, bahkan pengobatan. Di dalam setiap upacara ritual, tugas
mereka memimpin dan menjaga Arajang, yaitu benda pusaka keramat
peninggalan kerajaan).
Puang Matowa sebagai pimpinan dari komunitas Bissu,
yang sebenarnya adalah:
penjaga raja dan penjaga pusaka
kerajaan pada zaman kerajaan di Sulawesi Selatan, orang yang mengurus sistem
rumah tangga raja, orang yang menyerupai perempuan tetapi kebal dengan senjata
tajam, orang yang dipercayai mampu mengobati orang sakit yang disebut sebagai
tabib (sanro); termasuk komunitas
calabai (komunitas yang memiliki kepribadian ganda), tetapi bukan calabai
biasa, yaitu sebagai kaum transvestities; dan berperan penting di dalam kerajaan yaitu
sebagai perantara dunia atas dan dunia bawah yang disebut sebagai Bissu
Dewata.
Prosesi menjadi Bissu
Untuk menjadi seorang Bissu harus melewati seleksi dan upacara khusus.
Tidak semua waria bisa menjadi Bissu, tetapi semua waria punya peluang
untuk menjadi Bissu, dengan mempunyai bakat dan anugerah atau panggilan
hati dari dewata. semua Bissu harus menjalani tirakat dan peraturan. Mereka diharuskan
meninggalkan pribadi genit dan patut berpakaian sopan dan anggun. Seorang yang
telah bergelar Bissu, tidak boleh berpacaran, tidak menikah, Bissu tidak
boleh melakukan hubungan suami istri, tidak boleh berdandan terlalu mencolok
atau menor yang dapat mengundang birahi orang lain, dan sebagainya. Bissu yang
melanggar aturan akan mati, demikianlah mitos yang populer terdengar oleh
masyarakat di Kabupaten Pangkep. Namun untuk perkembangan di masa sekarang
banyak Bissu yang menikah, agar supaya terjadi regenerasi keturunan Bissu
tetap ada. (Latief, Halilintar A., 2004).
Ketika aturan-aturan
lisan bermuatan moral tersebut digantikan dengan aturan-aturan tertulis yang
konon lebih modern, maka masyarakat tradisional mulai kehilangan kekuatannya. Awal
mula seorang waria yang hendak menjadi Bissu harus mempunyai motivasi
yang kuat untuk berhasil menjadi Bissu. Motivasi tersebut antara lain ingin menjadi Bissu
secara sungguh-sungguh, karena jika hanya main-main maka akan menerima
resikonya.. Oleh karena itu syarat-syarat untuk menjadi Bissu atau
proses untuk menjadi Bissu (irreba) adalah:
1)
Niat;
Niat adalah sebuah janji yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh seorang waria untuk menjadi bagian dalam
komunitas Bissu. Niat ini harus muncul dari lubuk hati yang paling
dalam, karena akan menjadi berat menjalankan dan kegagalan yang terjadi untuk
menjadi Bissu.
2)
Puasa;
Setelah berniat yang tulus harus
dibarengi dengan menjalankan puasa biasanya para waria yang hendak menjadi Bissu,
harus melakukan puasa selama 40 hari 40 malam secara terus-menerus.
3)
Mattinjak
(mempunyai nazar);
Kemudian selesai berpuasa calon Bissu
melakukan sebuah nazar sebelum benar-benar menjadi Bissu.
Biasanya nazar dilakukan selama tiga hari berturut-turut.
4)
Wuju;
Calon Bissu menjalankan wuju,
yaitu dengan dibungkus kain kafan putih dan dimandikan layaknya seperti mayat
oleh para Bissu senior yang dipimpin oleh Puang Matowa. Setelah
dimandikan dan dikafani, calon Bissu ditidurkan di rumah di lantai atas
dengan beratapkan langit-langit, sambil bernazar seperti orang bertapa,
tidak makan dan minum selama satu hari satu malam.
5)
Taat
pada aturan-aturannya.
Syarat terakhir dan harus
selamanya dilakukan oleh calon Bissu adalah harus taat dan patuh
terhadap peraturan-peraturan yang diberlakukan dalam komunitas Bissu,
layaknya seorang laki-laki berpenampilan perempuan tetapi bukan waria biasa.
Para Bissu yang telah
dilantik menganggap dirinya lebih terhormat dan lebih tinggi kedudukannya dari
pada calabai pada umumnya yang belum dilantik. Bissu yang telah irreba-lah
yang berhak menyandang predikat sebagai Bissu sesungguhnya, sedangkan
calon Bissu yang belum dilantik hanya berhak menyandang sebagai Bissu
mentah (Bissu mamata). Namun karena kaum Bissu makin
berkurang, perbedaan antara Bissu dan calabai ini makin rancu di
beberapa wilayah adat. (Latief Halilintar A:2004)
Upacara Adat pada Komunitas Bissu
Bissu
merupakan tokoh sentral dalam pelaksanaan upacara adat. Para Bissu dahulu
mengenal tradisi tulisan pada lontar, namun tradisi ini sudah semakin
ditinggalkan, dan berubah menjadi tradisi tutur. Di dalam upacara yang
dipimpin oleh Bissu terdapat perpaduan dari berbagai aspek kesenian. Upacara
adat pada komunitas Bissu sebenarnya merupakan bagian dari aktivitas
upacara/ritual sebelum menanam padi yang meliputi pembacaan mantra-mantra,
sastra, nyanyian, musik, dan tarian. Semua bentuk seni tersebut sebagai media
upacara dalam berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa untuk mohon ijin dan
berkahnya. Upacara adat yang paling sering dilaksanakan atau melibatkan Bissu saat ini ialah upacara adat mattemmu taung, ma’giri, dan mappalili. (Latief, Halilintar A.,
2004).
1)
Upacara adat Mattemmu Taung
Rangkaian prosesi acara
diawali dengan “matteddu arajang
(membangunkan pusaka yang dikeramatkan). Puang Matowa sebagai
pemimpin upacara didepan arajang mengucapkan
mantra dalam gemuruh tabuhan perkusi atau gendrang, mencoba berkomunikasi
dengan para dewata atau arwah leluhurnya. Komunikasi dengan arwah leluhur untuk
mendapatkan restu, ini dilakukan terus menerus sepanjang upacara pada saat-saat
tertentu yakni pada tengah hari (mattangasso),
petang (malabu’esso), tengah malam (matengnga benni), dan dini hari (maddeniari), setiap waktu tertentu
selama waktu upacara, pemimpin upacara harus berkomunikasi dengan arajang.
Walasuji,semacam
usungan terbuat dari bilah bambu, diisi penuh dengan berbagai penganan yang
telah disiapkan sejak pagi oleh kaum perempuan. Isi paling penting dari walasuji adalah nasi ketan empat warna,
merah, hitam, kuning dan putih yang menggambarkan empat unsur alam yaitu api,
udara, tanah, dan air. Kemudian ada ayam, buah-buahan dan kue-kue tradisional
bugis, sementara sesajian menjadi persembahan untuk leluhur sebagai bentuk
ungkapan rasa syukur.
Saat senja mulai
mengintip, walasuji diusung ketengah
sawah yang menghampar dibelakang jajaran rumah penduduk. Melihat kedatangan
iring-iringan, warga yang sedang menyiapkan penanaman padi berdatangan untuk
menyambut. Diiringi mantra-mantra puang matoa atau puang lolo melepas sesajen
kesawah sisanya ditaruh didalam wadah, digantung pada pohon-pohon yang dianggap
keramat. Setelah makan malam bersama, prosesi dilanjutkan dengan “massanro”terlebih dahulu para Bissu berganti pakaian didalam rumah
sekitar 45 menit warga yang sudah berdatangan kerumah menunggu para Bissu berdandan. Para Bissu kemudian muncul dengan busana yang
sangat feminine dengan warna-warna yang mencolok. Alis menjadi lebih hitam,
bibir bergincu dan wajah berlapis bedak tebal.
Gambar : Suasana Tradisi Mattemu Taung
(Sumber Foto: Indoculture.wordpresscom)
1)
Upacara adat Maggiri’ dan Mappalili’
Maggiri atau disebut juga upacara magrangeng-rangeng,
yaitu Bissu telah berpakaian lengkap dan berdandan sedemikian rupa,
berjalan sambil menari mengelilingi walasuji dipimpin oleh Puang
Matowa. Kemudian Puang Matowa memperlihatkan kesaktiannya dengan
menusukkan keris ke arah tenggorokannya itulah yang disebut maggiri,
lalu diikuti oleh Bissu yang lain. Tarian Maggiri merupakan
tarian yang unik dengan mempergunakan sebilah keris pusaka yang mengandung
unsur mistis di dalamnya. Tari spiritual kaum Bissu yang sudah berusia
ratusan tahun. Maggiri merupakan rangkaian dari prosesi upacara dalam
tradisi Bugis kuno yang dilaksanakan para Bissu. Atraksi ini sambil
menghentak-hentakan kakinya ke lantai diiringi dengan musik yang ritmis semakin
lama semakin cepat, sehingga mampu membuat penonton berdebar melihatnya. Didalam
Maggiri inilah Bissu mempertunjukan kesaktiannya kebal akan benda
tajam, yaitu keris.
Gambar: Suasana
Upacara Maggiri’
(Sumber Foto: Anna Jaklewicz/NG Poland)
Di masa sekarang pertunjukan Maggiri
yang telah dipentaskan dan diperkenalkan pada kesempatan atau pergelaran
budaya, bahkan telah dipertontonkan secara luas di sejumlah negara Asia hingga
Eropa, maka budaya dan tradisi Bugis kuno yang dimiliki komunitas Bissu dapat
diartikan sebagai suatu bentuk kesenian tradisional dalam bentuk tarian. Tarian
unik dengan mempergunakan sebilah keris pusaka dengan unsur mistis di dalamnya.
Dalam prosesi Mappalili atau turun kesawah juga
dilanjutkan dengan tarian Maggiri’,
setiap orang yang menyaksikan prosesi Mappalili’
ini harus disiram air agar mendapatkan berkah dari Dewata. Menurut
pandangan masyarakat tanpa diadakannya Mappalili’
maka panen raya mereka bisa terganggu karena Mappalili’sudah merupakan tradisi yang harus dilakukan tiap
tahunnya sebelum memanen padi. Seperti yang dikemukakan dari awal bahwa puncak
upacara Mapalili adalah maggiri’ dimana Bissu menunjukkan
kesaktiannya dengan menusuk keris ke tubuhnya, yang dimulai dari Puang
Matowa sebagai pemimpin upacara. Setelah Puang Matowa menusuk
tubuhnya dengan keris, kemudian diikuti oleh para Bissu yang lain.
Eksistensi
Komunitas Bissu Kian Membisu!
Kehadiran komunitas Bissu bagi masyarakat bugis Makassar yang umumnya
beragama Islam jelas di satu sisi mengundang kontroversi. Upacara pemujaan
kepada dewata dan leluhur yang tentu saja diluar ajaran agama Islam masih
dilakukan dan dilestarikan dengan baik oleh masyarakat yang menggantungkan
hidupnya sebagai petani dan nelayan.
Puncaknya eksistensi Bissu mulai terancam punah dimana jumlah
mereka menurun drastis pada masa pemberontakan DI/TII. Ketika itu gerombolan
Kahar Muzakar melalui gerakan DI/TII-nya menganggap mereka (Bissu) kaum penyembah berhala dan menentang ajaran
agama Islam. Banyak Sanro (dukun) dan Bissu yang dibunuh atau
dipaksa menjadi pria dengan menggunduli rambut mereka dan bekerja layaknya
laki-laki. Kemudian tindakan pemusnahan para Bissu dan tradisinya terus
berlanjut ketika Orde Baru berkuasa. Bissu dituduh sebagai anggota
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mereka ditangkap dan diharuskan
memilih antara mati dibunuh atau memeluk agama Islam serta menjadi lelaki
normal. Bahkan beberapa pihak pada masa Orde Baru menyebarkan doktrin
menyesatkan. terutama kepada anak-anak, bahwa jika mereka melihat Bissu,
maka akan bernasib sial selama 40 hari 40 malam. Doktrin ini membuat mereka
kerap dilempari batu, bahkan diusir dari Desa. Ada pula yang disebut organisasi pemuda Anshor
yang pernah melakukan gerakan ”tobat”, banyak kaum Bissu yang
ditangkap dan dipancung. Sisanya yang selamat takut untuk melakukan upacara
lagi.
Keberadaan komunitas Bissu dalam
kehidupan bermasyarakat di Provinsi Sulawesi Selatan sudah jauh berbeda dengan
semasa kaum Bissu hidup di masa Kerajaan. Salah satu contohnya, mereka
dahulu sebagai orang yang terhormat dan mempunyai jaminan dalam hidup karena
diberikan sebidang tanah sawah sebagai sumber kehidupan. Namun kini sumber
penghidupan tersebut menjadi hilang karena pemerintah memberlakukan
undang-undang agraria. Untuk saat ini tidak ada yang memikirkan kebutuhan hidup
sehari-hari para kaum Bissu. Akhirnya mereka terpaksa mencari nafkah di
luar tugasnya sebagai Bissu. Jasa
mereka banyak digunakan oleh masyarakat yang ingin mengadakan pesta pernikahan,
khitanan, serta upacara tradisional lainnya. banyak juga dari mereka yang
memiliki kemampuan meramal dan ramai dikunjungi oleh masyarakat untuk
mengetahui hari baik dalam melaksanakan kegiatan upacara tradisional, semisal
tradisi Maggiri’ dan Mappalili’.
Kondisi inilah yang menjadikan
kaum Bissu tidak sepenting perannya pada jaman dahulu. Saat ini mereka
harus menentukan sikap dengan memberi patokan harga untuk biaya penyelenggaraan
upacara. Sampai saat inipun belum ada donatur, baik dari masyarakat, pemerintah
daerah, maupun pemerintah pusat untuk kaum Bissu tersebut. Akhirnya
karena berbagai hal martabat Bissu lambat laun bergeser menurun, baik
keberadaannya maupun fungsinya. Penyebabnya, mulai dari dominasi aturan dari
agama tertentu yang tidak menghendaki keberadaan Bissu, hilangnya
mitos-mitos yang mendukung keberadaan Bissu, dan hilangnya
kerajaan-kerajaan tradisional, diganti dengan pemerintahan NKRI.
Jumlah Bissu saat ini hanya
tersisa 12 orang saja dari sebelumnya sekitar 40 orang.
Pemimpin Bissu pertama adalah Sanro Laubba, setelah Sanro Laubba komunitas Bissu dipimpin berturut-turut memiliki
Puang Matoa antara lain; Sanro Sipatotto, Sanro Baddolo, Puang Nure’, Sanro
Sauke’ (Seke’), Sanro Dg Baji, Puang Saidi dan kini Puang Juleha. Bissu lain yang tersisa hanya Bissu Wa’
Matang, Bissu Ahmad, Bissu Usman, Mak Tenni, Puang Salma, Bissu Eka dan
Muharram.
Komunitas Bissu menjadi
semakin sedikit, regenerasi seakan terhenti, sehingga komunitas ini hampir
punah. Transformasi pengetahuan kaum Bissu masih belum sepenuhnya dapat
diketahui orang awam, karena masih terikat kepercayaan yang sangat kuat. Terdapat
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap eksistensi tradisi bissu yakni perubahan sistem pemerintah
dari sistem kerajaan menjadi kesatuan, serta sulitnya bissu beradaptasi di era
teknologi komunikasi saat ini. Untuk itulah, persoalan yang muncul adalah
regenerasi dan kepemimpinan baru para bissu. Tradisi Bissu juga perlu diberikan ruang tersendiri untuk hidup karena
merupakan bagian dari budaya. Peranan mereka dalam upacara-upacara adat seharusnya
bisa didayagunakan kembali untuk meningkatkan daya tarik wisata disana.
Sudah seharusnya upacara
tradisi Bissu menjadi local wisdom yang tentunya akan bisa dijadikan
ikon wisata di Kabupaten Pangkep secara khusus dan Provinsi Sulawesi
Selatan secara umum. Dengan pengembangan yang lebih bernuansa
pariwisata ini diharapkan dapat membangkitkan kembali keingintahuan masyarakat,
terutama wisatawan, terhadap praktik-praktik kesenian yang dilakukan oleh para Bissu,
lengkap dengan filosofi-filosofi yang melatarbelakanginya. Kondisi ini akan
menarik minat para calabai muda untuk mengembangkan diri menjadi Bissu.
Dengan demikian, regenerasi Bissu tetap dapat berjalan.
SUMBER
REFERENSI
Latief,
Halilintar A., 1981. Bissu dan Peralatannya. Makassar:
Proyek Pengembangan Permuseuman Sulawesi Selatan.
__________,
1983. Tari-Tarian Daerah Bugis. Yogyakarta:
Institut Press.
___________,
2004. Bissu, Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis. Depok,
Jawa Barat: Desantara Utama.
Makkulau, M
Farid W, 2007. Potret Komunitas Bissu di Pangkep, Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Pangkep.
Sumber Foto : (Indoculture.wordpresscom)
dan Anna Jaklewicz/NG Poland).
IDENTITAS PENULIS
Nama : Muhammad Ruslan
Afandi, S.H
Pekerjaan : Karyawan (Mantri)
PT. BRI Life ( Bank BRI Group)
Alamat Tempat Tinggal/Surat : Jl. Keadilan No 75, Kel/Desa Pabundukang, Kec
Pangkajene, Kab Pangkep, Prov. Sul-Sel
No. Telp
Rumah/HP : 082349878761
PENGALAMAN KEPENULISAN:
1.
Juara
1 Tonasa Journalist Award IV 2015 Kategori Karya Tulis Mahasiswa. 2015
2.
Juara
1 Lomba Esai Hari Pangan Dunia Tingkat Nasional “ Essay Writing Competition
World Food Day 2015”. 2015.
3.
Juara
3 Lomba Paper Tingkat Nasional “INDEF Call For Paper 2015”. 2015.
4.
Juara
3 Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional “IL2PMI 2015”. 2015.
5.
Juara
1 Lomba Menulis Artikel Hukum, Mahesa Group Justice (MHJ) 2015.
6.
Juara
1 Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional, Kementerian Pemuda dan Olahraga RI, 2015.
7. Juara
1 Lomba Karya Tulis Ilmiah “Plant Protection Expo” Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin. 2014.
8.
Juara
2 Lomba Karya Tulis Peduli Pajak Daerah, Dinas Pendapatan Daerah Sul-Sel. 2014.
9.
Juara
1 Lomba Menulis Artikel Kebangsaan. 2014.