ASEAN Literary Festival 2017_Komunitas Bissu : Keberagaman Gender yang Kian Membisu!




ASEAN Literary Festival 2017


Komunitas Bissu : Keberagaman Gender yang Kian Membisu!
Oleh:
Muhammad Ruslan Afandi, S.H

Sulawesi Selatan merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki kekhasan budaya. Secara garis besar penduduk Sulawesi Selatan terdiri dari 4 (empat) kelompok etnik, yaitu Bugis, Makasar, Toraja dan Mandar. Dalam kehidupan masyarakatnya masih banyak terikat pada sistem norma dan aturan-aturan adat, yang dikeramatkan atau disakralkan, yang seluruhnya disebut dengan istilah pangadareng (Bugis)/pangadakkang (Makassar).
 Adat bagi orang Bugis Makassar tidaklah berarti hanya sekedar kebiasaan-kebiasaan (gewooten), melainkan juga merupakan konsep kunci dalam memahami masyarakat Bugis Makassar. Adat adalah pribadi dari kebudayaan mereka. Dan lebih dari itu Adat adalah pandangan hidup bagi masyarakat Bugis Makassar. Sebagai pandangan hidup dan pribadi kebudayaan adat bagi orang Bugis Makassar dianggap sama dengan syarat-syarat kehidupan manusia.
Komunitas Bissu di Provinsi Sulawesi Selatan menjadi salah satu bukti kebudayaan adat bagi orang Bugis Makassar. Dimana, komunitas Bissu ini tersebar di beberapa kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan antara lain, Kabupaten Pangkep, Bone, Soppeng, dan Wajo. Pada mulanya Bissu berasal dari Kabupaten Luwu, namun kini sudah tidak ada lagi. Beberapa daerah  lainnya pun sudah mulai punah dan saat ini komunitas Bissu yang masih eksis hingga sekarang berada di Kabupaten Pangkajene dan Kepuluan (Pangkep).
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) sendiri merupakan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang berjarak 70 km dari Makassar. Di wilayah Kabupaten Pangkep, tepatnya di Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, hidup sekelompok komunitas.  Komunitas “Bissu”, begitu panggilan akrab yang ditujukan kepada beberapa pria feminisme yang tidak mempan senjata tajam saat menunjukkan atraksi seni tarian Maggiri. Dalam kehidupan sosial, pria feminisme disebut waria, wandu atau banci yang dalam bahasa bugis waria disebut calabai, berasal dari kata “salabai” atau “sala baine”, yang artinya bukan perempuan.
Secara harfiah istilah Bissu diyakini berasal dari kata “bessi’ atau “mabessi” yang artinya bersih, suci, tidak kotor karena mereka tidak berpayudara dan tidak mengalami menstruasi. Bissu berkedudukan sebagai penyambung lidah raja dan rakyat, juga merupakan perantara antara langit dan bumi karena mereka menguasai bahasa “torilangi’ (orang langit) yang hanya dimengerti sesama bissu dan para dewata (raja). (Makkulau, M Farid:2007)
Pengetahuan-pengetahuan warisan Bugis kuno di Kabupaten Pangkep masih dipertahankan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan atau upacara orang Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Komunitas Bissu di Kabupaten Pangkep dianggap sebagai pelestari tradisi, adat budaya, serta kepercayaan lama yang dianut oleh masyarakat bugis kuno jauh sebelum pengaruh agama Islam masuk. Di dalam naskah La Galigo disebutkan bahwa Bissu telah ada sebelum masuknya Islam. Di naskah tersebut dikatakan bahwa Bissu yang pertama kali diturunkan dari langit. Bahasa Bissu adalah lambang dari bahasa langit, sehingga disebut juga bahasa Torilangi, yang berarti bahasa orang dari langit. Norma-norma, konsep-konsep kehidupan, bahkan silsilah dewa-dewa dan kosmologi orang Bugis dalam kitab La Galigo, mereka peroleh secara lisan atau tertulis dari guru-guru pendahulu mereka yang telah wafat.

Bissu bukan Calabai (Waria) Biasa!           
Tradisi transvestities di tanah Bugis, yaitu lelaki yang berperan sebagai perempuan, sudah diungkap dalam naskah-naskah klasik Bugis sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka dikenal sebagai pendeta agama Bugis kuno pra Islam dengan julukan Bissu. Keberadaan mereka sebagai benang merah kesinambungan tradisi lisan Bugis kuno. Secara fisik Bissu adalah laki-laki, tetapi lemah lembut dalam bertutur dan memiliki kemampuan-kemampuan lebih, seperti meramal, mengobati, dan kebal terhadap senjata tajam. Sementara sebagian orang mengatakan bahwa Bissu sama dengan waria/banci. Di dalam bahasa Bugis disebut calabai atau kawe-kawe yang berarti waria (wanita-pria, wadam). (Latief, Halilintar :1981).
Bissu bukanlah calabai(waria) biasa hal ini karena Bissu dianggap orang ”suci” karena berkaitan dengan tugas yang diembannya sebagai penjaga dan pemelihara Arajang, yaitu benda-benda pusaka yang diwariskan para raja yang memerintah dalam suatu negeri atau kerajaan di Bugis dahulu. Seorang Bissu bukan calabai (waria) biasa, karena ada tirakat serta peraturan yang harus dijalani sebelum menjadi Bissu. Selain itu Bissu juga diharuskan berpakaian sopan dan anggun, tidak berpenampilan yang mengundang birahi orang seperti para banci/waria pada umumnya. Tugas Bissu pada intinya adalah sebagai pemimpin spiritual bagi masyarakat maupun kerajaan pada masa lalu. Di dalam konteks kekinian mereka menerima konsultasi tentang hajatan, pertolongan, bahkan pengobatan. Di dalam setiap upacara ritual, tugas mereka memimpin dan menjaga Arajang, yaitu benda pusaka keramat peninggalan kerajaan).
Puang Matowa sebagai pimpinan dari komunitas Bissu, yang sebenarnya adalah:
penjaga raja dan penjaga pusaka kerajaan pada zaman kerajaan di Sulawesi Selatan, orang yang mengurus sistem rumah tangga raja, orang yang menyerupai perempuan tetapi kebal dengan senjata tajam, orang yang dipercayai mampu mengobati orang sakit yang disebut sebagai tabib (sanro);  termasuk komunitas calabai (komunitas yang memiliki kepribadian ganda), tetapi bukan calabai biasa, yaitu sebagai kaum transvestities;  dan berperan penting di dalam kerajaan yaitu sebagai perantara dunia atas dan dunia bawah yang disebut sebagai Bissu Dewata.

 Prosesi menjadi Bissu
Untuk menjadi seorang  Bissu  harus melewati seleksi dan upacara khusus. Tidak semua waria bisa menjadi Bissu, tetapi semua waria punya peluang untuk menjadi Bissu, dengan mempunyai bakat dan anugerah atau panggilan hati dari dewata. semua Bissu harus menjalani  tirakat dan peraturan. Mereka diharuskan meninggalkan pribadi genit dan patut berpakaian sopan dan anggun. Seorang yang telah bergelar Bissu, tidak boleh berpacaran, tidak menikah, Bissu tidak boleh melakukan hubungan suami istri, tidak boleh berdandan terlalu mencolok atau menor yang dapat mengundang birahi orang lain, dan sebagainya. Bissu yang melanggar aturan akan mati, demikianlah mitos yang populer terdengar oleh masyarakat di Kabupaten Pangkep. Namun untuk perkembangan di masa sekarang banyak Bissu yang menikah, agar supaya terjadi regenerasi keturunan Bissu tetap ada. (Latief, Halilintar A., 2004).
Ketika aturan-aturan lisan bermuatan moral tersebut digantikan dengan aturan-aturan tertulis yang konon lebih modern, maka masyarakat tradisional mulai kehilangan kekuatannya. Awal mula seorang waria yang hendak menjadi Bissu harus mempunyai motivasi yang kuat untuk berhasil menjadi Bissu.  Motivasi tersebut antara lain ingin menjadi Bissu secara sungguh-sungguh, karena jika hanya main-main maka akan menerima resikonya.. Oleh karena itu syarat-syarat untuk menjadi Bissu atau proses untuk menjadi Bissu (irreba) adalah:
1)      Niat;
Niat adalah sebuah janji yang dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh seorang waria untuk menjadi bagian dalam komunitas Bissu. Niat ini harus muncul dari lubuk hati yang paling dalam, karena akan menjadi berat menjalankan dan kegagalan yang terjadi untuk menjadi Bissu.
2)      Puasa;
Setelah berniat yang tulus harus dibarengi dengan menjalankan puasa biasanya para waria yang hendak menjadi Bissu, harus melakukan puasa selama 40 hari 40 malam secara terus-menerus.
3)      Mattinjak (mempunyai nazar);
Kemudian selesai berpuasa calon Bissu melakukan sebuah nazar sebelum benar-benar menjadi Bissu. Biasanya nazar dilakukan selama tiga hari berturut-turut.
4)      Wuju;
Calon Bissu menjalankan wuju, yaitu dengan dibungkus kain kafan putih dan dimandikan layaknya seperti mayat oleh para Bissu senior yang dipimpin oleh Puang Matowa. Setelah dimandikan dan dikafani, calon Bissu ditidurkan di rumah di lantai atas dengan beratapkan langit-langit, sambil bernazar seperti orang bertapa, tidak makan dan minum selama satu hari satu malam.
5)      Taat pada aturan-aturannya.
Syarat terakhir dan harus selamanya dilakukan oleh calon Bissu adalah harus taat dan patuh terhadap peraturan-peraturan yang diberlakukan dalam komunitas Bissu, layaknya seorang laki-laki berpenampilan perempuan tetapi bukan waria biasa.
Para Bissu yang telah dilantik menganggap dirinya lebih terhormat dan lebih tinggi kedudukannya dari pada calabai pada umumnya yang belum dilantik. Bissu yang telah irreba-lah yang berhak menyandang predikat sebagai Bissu sesungguhnya, sedangkan calon Bissu yang belum dilantik hanya berhak menyandang sebagai Bissu mentah (Bissu mamata). Namun karena kaum Bissu makin berkurang, perbedaan antara Bissu dan calabai ini makin rancu di beberapa wilayah adat. (Latief Halilintar A:2004)

Upacara Adat pada Komunitas Bissu
Bissu merupakan tokoh sentral dalam pelaksanaan upacara adat. Para Bissu dahulu mengenal tradisi tulisan pada lontar, namun tradisi ini sudah semakin ditinggalkan, dan berubah menjadi tradisi tutur. Di dalam upacara yang dipimpin oleh Bissu terdapat perpaduan dari berbagai aspek kesenian. Upacara adat pada komunitas Bissu sebenarnya merupakan bagian dari aktivitas upacara/ritual sebelum menanam padi yang meliputi pembacaan mantra-mantra, sastra, nyanyian, musik, dan tarian. Semua bentuk seni tersebut sebagai media upacara dalam berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa untuk mohon ijin dan berkahnya. Upacara adat yang paling sering dilaksanakan atau melibatkan Bissu saat ini ialah upacara adat mattemmu taung, ma’giri, dan mappalili. (Latief, Halilintar A., 2004).
1)      Upacara adat Mattemmu Taung
Rangkaian prosesi acara diawali dengan “matteddu arajang (membangunkan pusaka yang dikeramatkan). Puang Matowa sebagai pemimpin upacara didepan arajang mengucapkan mantra dalam gemuruh tabuhan perkusi atau gendrang, mencoba berkomunikasi dengan para dewata atau arwah leluhurnya. Komunikasi dengan arwah leluhur untuk mendapatkan restu, ini dilakukan terus menerus sepanjang upacara pada saat-saat tertentu yakni pada tengah hari (mattangasso), petang (malabu’esso), tengah malam (matengnga benni), dan dini hari (maddeniari), setiap waktu tertentu selama waktu upacara, pemimpin upacara harus berkomunikasi dengan arajang.
Walasuji,semacam usungan terbuat dari bilah bambu, diisi penuh dengan berbagai penganan yang telah disiapkan sejak pagi oleh kaum perempuan. Isi paling penting dari walasuji adalah nasi ketan empat warna, merah, hitam, kuning dan putih yang menggambarkan empat unsur alam yaitu api, udara, tanah, dan air. Kemudian ada ayam, buah-buahan dan kue-kue tradisional bugis, sementara sesajian menjadi persembahan untuk leluhur sebagai bentuk ungkapan rasa syukur.
Saat senja mulai mengintip, walasuji diusung ketengah sawah yang menghampar dibelakang jajaran rumah penduduk. Melihat kedatangan iring-iringan, warga yang sedang menyiapkan penanaman padi berdatangan untuk menyambut. Diiringi mantra-mantra puang matoa atau puang lolo melepas sesajen kesawah sisanya ditaruh didalam wadah, digantung pada pohon-pohon yang dianggap keramat. Setelah makan malam bersama, prosesi dilanjutkan dengan “massanro”terlebih dahulu para Bissu berganti pakaian didalam rumah sekitar 45 menit warga yang sudah berdatangan kerumah menunggu para Bissu berdandan. Para Bissu kemudian muncul dengan busana yang sangat feminine dengan warna-warna yang mencolok. Alis menjadi lebih hitam, bibir bergincu dan wajah berlapis bedak tebal.


Gambar : Suasana Tradisi Mattemu Taung
(Sumber Foto: Indoculture.wordpresscom)




1)      Upacara adat Maggiri’ dan Mappalili’
Maggiri atau disebut juga upacara magrangeng-rangeng, yaitu Bissu telah berpakaian lengkap dan berdandan sedemikian rupa, berjalan sambil menari mengelilingi walasuji dipimpin oleh Puang Matowa. Kemudian Puang Matowa memperlihatkan kesaktiannya dengan menusukkan keris ke arah tenggorokannya itulah yang disebut maggiri, lalu diikuti oleh Bissu yang lain. Tarian Maggiri merupakan tarian yang unik dengan mempergunakan sebilah keris pusaka yang mengandung unsur mistis di dalamnya. Tari spiritual kaum Bissu yang sudah berusia ratusan tahun. Maggiri merupakan rangkaian dari prosesi upacara dalam tradisi Bugis kuno yang dilaksanakan para Bissu. Atraksi ini sambil menghentak-hentakan kakinya ke lantai diiringi dengan musik yang ritmis semakin lama semakin cepat, sehingga mampu membuat penonton berdebar melihatnya. Didalam Maggiri inilah Bissu mempertunjukan kesaktiannya kebal akan benda tajam, yaitu keris.
 
Gambar: Suasana Upacara Maggiri’
(Sumber Foto: Anna Jaklewicz/NG Poland)


Di masa sekarang pertunjukan Maggiri yang telah dipentaskan dan diperkenalkan pada kesempatan atau pergelaran budaya, bahkan telah dipertontonkan secara luas di sejumlah negara Asia hingga Eropa, maka budaya dan tradisi Bugis kuno yang dimiliki komunitas Bissu dapat diartikan sebagai suatu bentuk kesenian tradisional dalam bentuk tarian. Tarian unik dengan mempergunakan sebilah keris pusaka dengan unsur mistis di dalamnya.
Dalam prosesi Mappalili atau turun kesawah juga dilanjutkan dengan tarian Maggiri’, setiap orang yang menyaksikan prosesi Mappalili’ ini harus disiram air agar mendapatkan berkah dari Dewata. Menurut pandangan masyarakat tanpa diadakannya Mappalili’ maka panen raya mereka bisa terganggu karena Mappalili’sudah merupakan tradisi yang harus dilakukan tiap tahunnya sebelum memanen padi. Seperti yang dikemukakan dari awal bahwa puncak upacara Mapalili adalah maggiri’ dimana  Bissu menunjukkan kesaktiannya dengan menusuk keris ke tubuhnya, yang dimulai dari Puang Matowa sebagai pemimpin upacara. Setelah Puang Matowa menusuk tubuhnya dengan keris, kemudian diikuti oleh para Bissu yang lain.

Eksistensi Komunitas Bissu Kian Membisu!
Kehadiran komunitas Bissu  bagi masyarakat bugis Makassar yang umumnya beragama Islam jelas di satu sisi mengundang kontroversi. Upacara pemujaan kepada dewata dan leluhur yang tentu saja diluar ajaran agama Islam masih dilakukan dan dilestarikan dengan baik oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya sebagai petani dan nelayan.
Puncaknya eksistensi Bissu mulai terancam punah dimana jumlah mereka menurun drastis pada masa pemberontakan DI/TII. Ketika itu gerombolan Kahar Muzakar melalui gerakan DI/TII-nya menganggap mereka (Bissu)  kaum penyembah berhala dan menentang ajaran agama Islam. Banyak Sanro (dukun) dan Bissu yang dibunuh atau dipaksa menjadi pria dengan menggunduli rambut mereka dan bekerja layaknya laki-laki. Kemudian tindakan pemusnahan para Bissu dan tradisinya terus berlanjut ketika Orde Baru berkuasa. Bissu dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mereka ditangkap dan diharuskan memilih antara mati dibunuh atau memeluk agama Islam serta menjadi lelaki normal. Bahkan beberapa pihak pada masa Orde Baru menyebarkan doktrin menyesatkan. terutama kepada anak-anak, bahwa jika mereka melihat Bissu, maka akan bernasib sial selama 40 hari 40 malam. Doktrin ini membuat mereka kerap dilempari batu, bahkan diusir dari Desa.  Ada pula yang disebut organisasi pemuda Anshor yang pernah melakukan gerakan tobat”, banyak kaum Bissu yang ditangkap dan dipancung. Sisanya yang selamat takut untuk melakukan upacara lagi.
Keberadaan komunitas Bissu dalam kehidupan bermasyarakat di Provinsi Sulawesi Selatan sudah jauh berbeda dengan semasa kaum Bissu hidup di masa Kerajaan. Salah satu contohnya, mereka dahulu sebagai orang yang terhormat dan mempunyai jaminan dalam hidup karena diberikan sebidang tanah sawah sebagai sumber kehidupan. Namun kini sumber penghidupan tersebut menjadi hilang karena pemerintah memberlakukan undang-undang agraria. Untuk saat ini tidak ada yang memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari para kaum Bissu. Akhirnya mereka terpaksa mencari nafkah di luar tugasnya sebagai Bissu.  Jasa mereka banyak digunakan oleh masyarakat yang ingin mengadakan pesta pernikahan, khitanan, serta upacara tradisional lainnya. banyak juga dari mereka yang memiliki kemampuan meramal dan ramai dikunjungi oleh masyarakat untuk mengetahui hari baik dalam melaksanakan kegiatan upacara tradisional, semisal tradisi Maggiri’ dan Mappalili’.
Kondisi inilah yang menjadikan kaum Bissu tidak sepenting perannya pada jaman dahulu. Saat ini mereka harus menentukan sikap dengan memberi patokan harga untuk biaya penyelenggaraan upacara. Sampai saat inipun belum ada donatur, baik dari masyarakat, pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat untuk kaum Bissu tersebut. Akhirnya karena berbagai hal martabat Bissu lambat laun bergeser menurun, baik keberadaannya maupun fungsinya. Penyebabnya, mulai dari dominasi aturan dari agama tertentu yang tidak menghendaki keberadaan Bissu, hilangnya mitos-mitos yang mendukung keberadaan Bissu, dan hilangnya kerajaan-kerajaan tradisional, diganti dengan pemerintahan NKRI.
Jumlah Bissu saat ini hanya tersisa 12 orang saja dari sebelumnya sekitar 40 orang.
Pemimpin Bissu pertama adalah Sanro Laubba, setelah Sanro Laubba komunitas Bissu dipimpin berturut-turut memiliki Puang Matoa antara lain; Sanro Sipatotto, Sanro Baddolo, Puang Nure’, Sanro Sauke’ (Seke’), Sanro Dg Baji, Puang Saidi dan  kini Puang Juleha. Bissu lain yang tersisa hanya Bissu Wa’ Matang, Bissu Ahmad, Bissu Usman, Mak Tenni, Puang Salma, Bissu Eka dan Muharram.
Komunitas Bissu menjadi semakin sedikit, regenerasi seakan terhenti, sehingga komunitas ini hampir punah. Transformasi pengetahuan kaum Bissu masih belum sepenuhnya dapat diketahui orang awam, karena masih terikat kepercayaan yang sangat kuat. Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap eksistensi tradisi bissu yakni perubahan sistem pemerintah dari sistem kerajaan menjadi kesatuan, serta sulitnya bissu beradaptasi di era teknologi komunikasi saat ini. Untuk itulah, persoalan yang muncul adalah regenerasi dan kepemimpinan baru para bissu. Tradisi Bissu juga perlu diberikan ruang tersendiri untuk hidup karena merupakan bagian dari budaya. Peranan mereka dalam upacara-upacara adat seharusnya bisa didayagunakan kembali untuk meningkatkan daya tarik wisata disana.  
Sudah seharusnya upacara tradisi Bissu  menjadi local wisdom yang tentunya akan bisa dijadikan ikon wisata di Kabupaten Pangkep secara khusus dan Provinsi Sulawesi Selatan secara umum. Dengan pengembangan yang lebih bernuansa pariwisata ini diharapkan dapat membangkitkan kembali keingintahuan masyarakat, terutama wisatawan, terhadap praktik-praktik kesenian yang dilakukan oleh para Bissu, lengkap dengan filosofi-filosofi yang melatarbelakanginya. Kondisi ini akan menarik minat para calabai muda untuk mengembangkan diri menjadi Bissu. Dengan demikian, regenerasi Bissu tetap dapat berjalan.


SUMBER REFERENSI
Latief, Halilintar A., 1981. Bissu dan Peralatannya. Makassar: Proyek Pengembangan Permuseuman Sulawesi Selatan.
__________, 1983. Tari-Tarian Daerah Bugis. Yogyakarta: Institut Press.
___________, 2004. Bissu, Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis. Depok, Jawa Barat: Desantara Utama.
Makkulau, M Farid W, 2007. Potret Komunitas Bissu di Pangkep, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Pangkep.
Sumber Foto : (Indoculture.wordpresscom) dan Anna Jaklewicz/NG Poland).

IDENTITAS PENULIS
Nama                                       : Muhammad Ruslan Afandi, S.H
Pekerjaan                                 : Karyawan (Mantri) PT. BRI Life ( Bank BRI Group)
Alamat Tempat Tinggal/Surat : Jl. Keadilan No 75, Kel/Desa Pabundukang, Kec Pangkajene,   Kab Pangkep, Prov. Sul-Sel
No. Telp Rumah/HP               : 082349878761
E-mail                                      : muhruslanafandyjie@yahoo.com
Alamat Blog                            : muhruslanafandysite.blogspot.com

PENGALAMAN KEPENULISAN:
1.      Juara 1 Tonasa Journalist Award IV 2015 Kategori Karya Tulis Mahasiswa. 2015
2.      Juara 1 Lomba Esai Hari Pangan Dunia Tingkat Nasional “ Essay Writing Competition World Food Day 2015”. 2015.
3.      Juara 3 Lomba Paper Tingkat Nasional “INDEF Call For Paper 2015”. 2015.
4.      Juara 3 Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional “IL2PMI 2015”. 2015.
5.      Juara 1 Lomba Menulis Artikel Hukum, Mahesa Group Justice (MHJ) 2015.
6.      Juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional, Kementerian Pemuda dan Olahraga RI, 2015.
7. Juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah “Plant Protection Expo” Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin. 2014.
8.      Juara 2 Lomba Karya Tulis Peduli Pajak Daerah, Dinas Pendapatan Daerah Sul-Sel. 2014.
9.      Juara 1 Lomba Menulis Artikel Kebangsaan. 2014.



Postingan Populer