TANGGUNG JAWAB KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG



TANGGUNG JAWAB KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Oleh:
Muh Ruslan Afandy
(Mahasiswa Fakultas Hukum UNHAS Makassar)

Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan (bribery), penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, dan berbagai kejahatan kerah putih. Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan Harta Kekayaan yang sangat besar jumlahnya.
            Harta Kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana tersebut, pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber diperolehnya Harta Kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar Harta Kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system). Dengan cara demikian, asal usul Harta Kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).
            Bagi organisasi kejahatan, Harta Kekayaan sebagai hasil kejahatan ibarat darah dalam satu tubuh, dalam pengertian apabila aliran Harta Kekayaan melalui sistem perbankan internasional yang dilakukan diputuskan, maka organisasi kejahatan tersebut lama kelamaan akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena itu, Harta Kekayaan merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu organisasi kejahatan. Untuk itu, terdapat suatu dorongan bagi organisasi kejahatan melakukan pencucian uang agar asal usul Harta Kekayaan yang sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Perbuatan pencucian uang di samping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan.
            Berdasarkan penjelasan di atas, tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat  follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian.
            Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. Yang pada gilirannya mengundang perdebatan adalah bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Dengan demikian, pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum (rechspersoonlijkheid) tidak berlaku dalam bidang hukum pidana. Maka perkembangan korporasi sebagai subjek tindak pidana terjadi di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)  dengan dikeluarkannya  perundang-undangan khusus. Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) baru dikriminalisasi secara resmi pada tahun 2002 dengan dikeluarkannya Undang- Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
            Prinsip pertanggungjawaban korporasi pertama kali diatur pada tahun 1951 yaitu dalam Undang-Undang tentang Penimbunan Barang, dan dikenal secara lebih luas lagi dalam UU No. 71 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam perkembangan terakhir, selain sebagi pelaku, korporasi juga dapat dituntut pertanggungjawabannya atas suatu tindak pidana, Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menganut model ini. Perundang-undangan lainnya yang juga menganut model ini diantaranya UU No.23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Kemudian untuk menjangkau dan memberantas kejahatan korporasi terkait perkembangan tindak pencucian uang beserta kompleksitasnya, dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002
1)    tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber dana ilegal tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
2)    Integration yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai “legitimate explanation” bagi hasil kejahatan. Di sini uang yang diputihkan melalui placement maupun layering  dialihkan  ke dalam kegiatan-kegiatan  resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama  sekali  dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang  menjadi  sumber dari uang yang diputihkan. Pada tahap ini uang yang telah diputihkan dimasukan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.

C. Kerangka Pemikiran Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
1)    Teori Strict Liability
Dalam konsepsi tersebut, korporasi dianggap bertanggungjawab atas perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pemegang saham, pengurus, agen, wakil atau pegawainya. Di bidang hukum pidana, “strict liability” berarti niat jahat atau “mens rea” tidak harus dibuktikan dalam kaitan dengan satu atau lebih unsur yang mencerminkan sifat melawan hukum atau “actus reus”, meskipun niat, kecerobohan atau pengetahuan mungkin disyaratkan dalam kaitan dengan unsurunsur tindak pidana yang lain.
Menurut prof. Barda Nawawi, teori tersebut dapat disebut juga dengan doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-undang atau “Strict liability” Kerangka pemikiran ini merupakan konsekuensi dari korporasi sebagai subjek hukum, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang, maka subjek hukum buatan tersebut harus bertanggungjawab secara pidana. Hal yang penting dari teori ini adalah subjek hukum harus bertanggungjawab terhadap akibat yang timbul, tanpa harus dibuktikan adanya kesalahan atau kelalaiannya.
Pelanggaran kewajiban atau kondisi tertentu oleh korporasi ini dikenal dengan istilah “strict liability offences”. Contoh dari rumusan Undang-undang yang menetapkan sebagai suatu delik bagi korporasi adalah dalam hal :
a.    korporasi yang menjalankan usahanya tanpa izin;
b.    korporasi pemegang izin yang melanggar syarat-syarat (kondisi/situasi) yang ditentukan dalam izin itu;
c.    korporasi yang mengoperasikan kendaraan yang tidak diasuransikan di jalan umum.

2)    Teori Vicarious Liability
Berdasarkan terori ini, maka secara umum dapat dikatakan bahwa atasan harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya. Sebagaimana didefinisikan bahwa prinsip hukum “vicarious liability” adalah seseorang bertanggungjawab untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, ketika keduanya termasuk dalam suatu bentuk kegiatan gabungan atau kegiatan bersama. Doktrin tersebut secara tradisional merupakan konsepsi yang muncul dari sistem hukum “common law”, yang disebut sebagai “respondeat superior”, yaitu tanggung jawab sekunder yang muncul dari “doctrine of agency”, dimana atasan bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya.
Di antara para ahli yang mengkaji teori ini, dengan bertolak dari hubungan pekerjaan dalam kaitannya dengan “vicarious liability”, Peter Gillies membuat beberapa pemikiran sebagai berikut :
a.    Suatu perusahaan (seperti halnya dengan manusia sebagai pelaku/pengusaha) dapat bertanggung jawab secara mengganti untuk perbuatan yang dilakukan oleh karyawan/agennya. Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan secara vicarious.
b.    Dalam hubungannya dengan “employment principle”, delik-delik ini sebagian’ besar atau seluruhnya merupakan “summary offences” yang berkaitan dengan peraturan perdagangan.
c.    Kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaannya, tidaklah relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai korporasi maupun secara alami tidak telah mengarahkan atau memberi petunjuk/perintah pada karyawan untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. (Bahkan, dalam beberapa kasus, vicarious liability dikenakan terhadap majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan dengan instruksi, berdasarkan alasan bahwa perbuatan karyawan dipandang sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup pekerjaannya). Oleh karena itu, apabila perusahaan terlibat, pertanggungjawaban muncul sekalipun perbuatan itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang senior di dalam perusahaan. Perlu dikemukakan bahwa doktrin ini dapat berlaku dengan didasarkan pada prinsip pendelegasian wewenang atau “the delegation principle”. Jadi, niat jahat atau “mens rea” atau “a guilty mind” dari karyawan dapat dihubungkan ke atasan apabila ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan menurut Undang-undang.

3)    Teori Identification
            Pertanggungjawaban pidana langsung atau “direct liability” (yang juga berarti nonvicarious), menyatakan bahwa para pegawai senior korporasi, atau orang-orang yang mendapat delegasi wewenang dari mereka, dipandang dengan tujuan tertentu dan dengan cara yang khusus, sebagai korporasi itu sendiri, dengan akibat bahwa perbuatan dan sikap batin mereka dipandang secara langsung menyebabkan perbuatan-perbuatan tersebut, atau merupakan sikap batin dari korporasi. Ruang lingkup tindak pidana yang mungkin dilakukan oleh korporasi sesuai dengan prinsip ini lebih luas, dibanding dengan apabila didasarkan pada doktrin “vicarious”. Teori tersebut menyatakan bahwa perbuatan atau kesalahan “pejabat senior” (senior officer) diidentifikasi sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi. Konsepsi ini disebut juga doktrin “alter ego” atau “teori organ”.                               
            Dalam pandangan Prof. Dr. Barda Nawawi, pengertian “pejabat senior” korporasi dapat bermacam-macam. Meskipun pada umumnya, pejabat senior adalah orang yang mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama, yang biasa disebut “para direktur dan manajer”. Sementara di Amerika Serikat, teori ini diartikan lebih luas yaitu tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi juga agen di bawahnya. Hal tersebut tergambar dalam pendapat para pakar maupun praktisi hukum berikut ini.
a.    Hakim Reid dalam perkara Tesco Supermarkets Ltd. (1972):
ü  Untuk tujuan hukum, para pejabat senior biasanya terdiri dari “dewan direktur, direktur pelaksana dan pejabat-pejabat tinggi lainnya yang melaksanakan fungsi manajemen dan berbicara serta berbuat untuk perusahaan”.
ü  Konsep pejabat senior tidak mencakup “semua pegawai perusahaan yang bekerja atau melaksanakan petunjuk pejabat tinggi perusahaan”.

b.    Lord Morris:

ü  Pejabat senior adalah orang yang tanggung jawabnya mewakili/melambangkan pelaksana dari The directing mind and will of the company”.

c.    Viscount Dilhorne:

ü  Pejabat senior adalah seseorang yang dalam kenyataannya mengendalikan jalannya perusahaan (atau ia merupakan bagian dari para pengendali) dan ia tidak bertanggung jawab pada orang lain dalam perusahaan itu.

d.    Lord Diplock:

ü  Mereka-mereka yang berdasarkan memorandum dan ketentuan yayasan atau hasil keputusan para direktur atau putusan rapat umum perusahaan, telah dipercaya melaksanakan kekuasaan perusahaan.

e.    House of Lord:

ü  Manajer dari salah satu toko/supermarket berantai tidak dipandang sebagai pejabat senior. ia tidak berfungsi sebagai “the directing mind and will of the company”. la merupakan salah seorang yang diarahkan. Ia merupakan salah seorang yang dipekerjakan, tetapi ia bukan utusan/delegasi perusahaan yang diserahi tanggung jawab.

f.     Hakim Bowen CA. dan Franki J. (dalam perkara Universal Telecasters, 1977, di Australia):

ü  Manajer penjualan (“the sales manager’) dari perusahaan yang mengoperasikan stasiun televisi, bukanlah “senior officer”.

g.    Hakim Nimmo J. (hakim ke-3 dalam perkara Universal Telecasters):

ü  Manajer penjualan dapat diidentifikasikan sebagai perusahaan, yaitu sebagai “senior officer”.
ü  Walaupun orang itu (manajer penjualan) tidak memiliki kekuasaan manajemen yang  umum, tetapi ia mempunyai kebijaksanaan manajerial (managerial discretion) yang relevan dengan bidang operasi perusahaan yang menyebabkan timbulnya delik. Dengan kata lain, dalam pandangannya, pejabat perusahaan dapat menjadi “senior officer” dalam bidang yang relevan, walaupun tidak untuk semua tujuan.

h.    Supreme Court Queensland:

ü  Manajer perusahaan penjual motor (motor dealer) dapat dipandang sebagai “senior officer”, dapat juga sebagai The sales manager” yang kepadanya manajer mendelegasikan pengendalian bisnis selama manajer absen.

i.      Supreme Court di Australia Selatan (merefleksikan pandangan Nimmo di atas) :

ü  Dalam delik lalu lintas, manajer operasi dan juga manajer yang bertanggung jawab pada    pengawasan kendaraan dan sopir dapat dipandang sebagai “senior officer”.

Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan dalam menetapkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dalam tindak pidana pencucian uang .
            Beberapa tindakan yang dapat dikualifikasikan ke dalam tindak pidana pencucian uang. (menurut pasal 3 dan 4 UU No.8 tahun 2010).
a.    Menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain, padahal diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut diperoleh melalui tindak pidana.
b.    Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama orang lain.
c.    Membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari tindak pidana. Baik atas nama dirinya sendiri atau atas nama pihak lain.
d.    Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri ataupun atas nama pihak lain.
e.    Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh berdasarkan tindak pidana, baik atas namanaya sendiri atau atas nama pihak lain.
f.      Membawa ke luar negeri harta yang diketahui atau patut diduga merupakan harta  yang diproleh dari tindak pidana.
g.     Menukarkan atau perbuatan lainnya terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut.
            Tindakan-tindakan tersebut dapat dipidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
            Tindak Pidana Pencucian uang (Money Laundry) sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian.
            Praktek money laundering bisa dilakukan oleh seseorang tanpa harus misalnya ia bepergian ke luar negeri. Hal ini bisa dicapai dengan kemajuan teknologi melalui sistem cyberspace (internet), di mana pembayaran melalui bank secara elektronik (cyberpayment) dapat dilakukan. Begitu pula seseorang pelaku money laundering bisa mendepositokan uang kotor (dirty money, hot money) kepada suatu bank tanpa mencantumkan identitasnya.
            Sifat kriminalitas money laundering adalah berkaitan dengan latar belakang perolehan sejumlah uang yang sifatnya gelap, haram, atau kotor, lalu sejumlah uang kotor ini kemudian dikelola dengan aktivitas-aktivitas tertentu seperti dengan membentuk usaha, mentransfer, atau mengkonversikannya ke bank atau penyedia jasa keuangan lainnya yang non perbankan, seperti perusahaan asuransi, sebagai langkah untuk menghilangkan latar belakang dari dana ilegal tersebut.
            Cara pemutihan atau pencucian uang dilakukan dengan melewatkan uang yang diperoleh secara ilegal melalui serangkaian transaksi finansial yang rumit guna menyulitkan para pihak untuk mengetahui asal-usul uang tersebut. Kebanyakan orang beranggapan transaksi derivatif merupakan cara yang paling disukai karena kerumitannya dan daya jangkaunya menembus batas-batas yurisdiksi. Kerumitan inilah yang merupakan kekhususan dari tindak pidana pencucian uang yang kemudian dimanfaatkan para pelaku money laundering guna melakukan tahap proses pencucian uang.
            Subyek Hukum UU Tindak Pidana Pencucian Uang Nomor 8 Tahun 2010: Orang dan Korporasi. Sedangkan subyek hukum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Orang sebagai Naturlijk Persoon dan Korporasi sebagai Recht Persoon sebagai Badan Usaha berbadan hukum maupun Badan Usaha tak berbadan hukum. Pasal 1 ayat (9) menyatakan subyek hukum orang, yaitu, “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi”, dan “Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”
            Secara teoritis subyek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi  pendukung hak dan kewajiban. Subyek hukum dalam ilmu hukum disebut juga “orang” sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dengan demikian orang sebagai  subyek hukum memiliki kewenangan untuk bertindak menurut hukum. Ada dua subyek hukum yaitu: 1. Naturlijk Persoon, atau pribadi kodrati yaitu manusia sejak saat lahir hingga mati dimana pada hakikatnya semua orang adalah subyek hukum, kecuali yang tidak cakap hukum (a. orang dibawah umur menurut Pasal 45 KUHP belum cukup 16 tahun dan, b.  orang yang kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal menurut Pasal 44 KUHP); 2. Recht Persoon atau Pribadi Hukum atau Badan Hukum yaitu setiap pendukung hak dan kewajiban  yang merupakan kelompok manusia (a. Badan Hukum Publik seperti lembaga negara, pemerintah daerah tingkat I/tingkat II dan kedinasan; b. Badan Hukum Perdata seperti Perseroan Terbatas, Yayasan dan Koperasi).
            Menurut civil law system yang dianut di Indonesia korporasi atau perseroan merupakan Recht Persoon atau Pribadi Hukum atau Badan Hukum Perdata di mana pendukung hak dan kewajibannya  terdiri atas kelompok manusia. Batasan suatu perseroan atau korporasi sebagai badan hukum bahwa perseroan meruapakan subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan atau tindakan hukum atau membuat perikatan, dan terbatas pada hal-hal yang diatur secara tegas dalam anggaran dasar perseroan.
            Sedangkan menurut common law system korporasi adalah suatu artificial person atau legal entity. Justice Buckley L. mengilustrasikan bahwa artificial person adalah korporasi yang tidak memiliki keberadaan fisik. Keberadaannya hanya dalam kontemplasi hukum, korporasi yang tidak memiliki bagian tubuh maupun hasrat. Korporasi tidak dapat memakai senjata maupun dalam perang, korporasi tidak dapat dikatan loyal atau tidak loyal, maupun melakukan pengkhianatan, korporasi tidak dapat menjadi teman maupun musuh. Terlepas dari kepengurusannya, korporasi tidak memiliki pemikiran, harapan maupun niat. Untuk itu korporasi tidak memiliki pikiran selain pikiran dari pengurusnya.

B. Pengaturan Dan Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang
            Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP), belum dikenal adanya ketentuan pidana yang menetapkan subjek hukum buatan (rechtpersoon) atau korporasi, sebagai subjek yang dapat dikenakan pidana. Hal ini terlihat dalam ketentuan umum KUHP yang menyebutkan berlakunya peraturan perundang-undangan Indonesia bagi setiap orang. Terminologi lain yang dipakai dalam KUHP, adalah “warga negara” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 KUHP, yang pada intinya menetapkan berlakunya peraturan perundang-undangan Indonesia bagi warga negara Indonesia yang melakukan kejahatan tertentu, di luar wilayah Indonesia. Namun demikian, dalam perkembangannya, korporasi kemudian menjadi subjek hukum dalam rumusan ketentuan pidana. Berikut ini adalah contoh dimana suatu undang-undang khusus, mengatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana, tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya pengurusnya :
a.    Undang~Undang Nomor 1 Tahun 1951 (Undang-Undang Kerja);
b.    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 (Undang-Undang Kecelakaan);
c.    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 (Undang-Undang Pengawasan Perburuhan);
d.    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 (UndangUndang Senjata Api);
e.    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan Apotek);
f.     Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 (UndangUndang Penyelesaian Perburuhan);
g.    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan Tenaga Asing);
h.    Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 (UndangUndang Penerbangan);
i.      Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 (Undang-Undang Telekomunikasi; berubah menjadi
j.      Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989);
k.    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 (Undang-Undang Wajib Lapor Ketenagakerjaan);
l.      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 (Undang-Undang Metrologi Legal);
m.   Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 (Undang-Undang Wajib Lapor Perusahaan).
n.    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (Perbankan; diganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998).
            Ketetapan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam bentuk pertanggungjawaban pengurusnya juga dapat dilihat pada ketentuan Pasal 46 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992: “ Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.”
            Senada dengan hal tersebut, Elliot dan Quinn mengemukakan persetujuannya agar korporasi dipidana sebagai pertanggungjawaban karena tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan bukan hanya pegawainya yang dituntut tetapi juga direksi, komisaris, pemegang saham karena telah melakukan tindak pidana yang sebenarnya merupakan kesalahan dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh perusahaan.Termasuk apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan  usaha yang illegal (pencucian uang atau money laundering), maka seharusnya perusahaan (direksi, komisaris, pemegang saham) itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah dilakukan, bukan hanya pegawai perusahaan itu saja. Dengan demikian korporasi juga dapat menjadi subjek hukum yang sebagai satu kesatuan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam peraturan perundang-undangan khusus, diatur mengenai ketentuan ini. Contoh undang-undang yang menyatakan korporasi sebagai subjek hukum dan dapat dipertanggungjawabkan, adalah :
a.    Undang-Undang Nomor 7/Drt. 1955 (Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UU-TPE);
b.    Undang-Undang Nomor 11 Prips. 1963 (Subversi; sudah dicabut);
c.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 (Perindustrian);
d.    Undang-Undahg Nomor 6 Tahun 1984 (Pos);
e.    Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 (Perikanan);
f.     Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 (Pasar Modal);
g.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 (Psikotropika);
h.    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 (Narkotika; menggantikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976);
i.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (Lingkungan Hidup);
j.      Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha  Tidak Sehat);
k.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Perlindungan Konsumen);
l.      Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (Tindak Pidana Korupsi);
m.   Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 (Tindak Pidana Pencucian Uang).


Postingan Populer